Jejak Wali Songo dan Sistem Pemerintahan

Itulah usulan mengenai sistem pemerintahan Wali songo, semoga dapat memperkaya khazanah alternatif dalam memperbaiki carutmarut sistem ketatanegaraan.
Jejak Wali Songo

Jejak Wali Songo | Sistem Pemerintahan Wali songo


Salah satu idiom yang sering sekali digembar-gemborkan di Indonesia ini adalah bahwa walaupun Indonesia menganut sistem demokrasi, akan tetapi tidak sepenuhnya menginduk pada sistem demokrasi ala Barat. Demokrasi di Indonesia adalah Demokrasi Pancasila, yang penulis sendiri tidak terlalu yakin ada perbedaan apa sih antar keduanya. 

Bangsa Indonesia “dipaksa“ bangga dengan sistem Demokrasi Pancasila ini, karena merupakan produk “inovatif” karya founding father negeri ini. Jika di Barat, sistem demokrasi liberal memakai trias politika mutlak, maka trias politika di Indonesia tidak semutlak di Barat. 

Di Indonesia ini, RUU bisa datang atas inisiatif baik dari eksekutif maupun legislatif. Proses pembahasannya juga dilakukan oleh keduanya. Satu-satunya kekuasaan yang “merdeka” dari pengaruh eksekutif adalah kekuasaan yudikatif yang diwakili Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. 

Itupun belum dicampuri oleh hak grasi, remisi, abolisi dan rehabilitasi dari Presiden. Walaupun dibuat sebeda apapun, trias politika di Indonesia tetap membagi kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Singkatnya, walaupun dibuat sekreatif mungkin tetap saja sistem yang dipakai di Indonesia membebek ke Barat, ibaratnya nanggung banget. Seharusnya kalau memang benar orang Indonesia ini kreatif, ya buat sistem politik sendiri donk!! Kalau toh memang tidak bisa ya sudah, pakai saja sistem yang sudah ada. 

Tapi masalahnya, sistem politik macam apa yang paling pas untuk negeri kita tercinta ini? Okelah, kalau ada yang berpendapat sistem demokrasi itu baik. Tapi kita harus ingat, mungkin demokrasi itu baik, tapi itu mungkin hanya baik menurut masyarakat Barat. 

Mungkin lho ya, faktanya kita harus yakin sistem politik yang paling baik untuk umat manusia tentunya harus berasal dari Sang Empunya Manusia ini. Apakah sistem yang dianggap “baik” ini langsung otomatis baik juga kita pakai? 

Mungkin saja, tapi yang kita rasakan selama ini, yang masyarakat tahu yang namanya demokrasi itu Cuma soal Pemilu semata. Dan jika kita tanya pada masyarakat awam apa yang terlintas di pikiran mereka tentang kata Demokrasi dan Pemilu, maka yang terlintas pun cuma masalah kampanye, bagi-bagi uang, bagi-bagi kaus politik, nyoblos, dan paling cuma tentang masalah yang menyangkut itu-itu saja. 

Dan tentu saja itu semua jauh dari substansi demokrasi itu sendiri. Dengan melihat fakta yang jelas tersebut, maka dengan berani penulis menyimpulkan bahwa sistem Demokrasi bukanlah sistem yang pas untuk Indonesia.

Lalu, adakah sistem lain yang pas untuk Indonesia? Sistem kerajaan kah yang merupakan sistem asli masyarakat sebelum zaman kemerdekaan? Tapi, benarkah sistem kerajaan adalah sistem asli Indonesia? Perlu diketahui, yang dimaksud sistem yang pas menurut penulis tidak mesti sistem asli yang dianut bangsa tersebut. 

Kalau kita mau kritis, sistem kerajaan juga bukan sistem asli Indonesia. Sistem asli Indonesia adalah sistem yang jauh sebelum zaman kebudayaan luar masuk, yaitu sistem desa. Nah, dengan wilayah seluas ini sekarang bisakah Indonesia diatur dengan sistem desa? Kepala Negaranya bergelar Lurah? Itulah, bahkan sistem asli pun belum tentu pas bila diinstal dalam ketatanegaraan kita.

Idealnya, sistem pemerintahan yang dipakai suatu negara disesuaikan dengan ideologi yang dianut negara tersebut. Sekarang, apakah bentuk ideologi yang dianut di Indonesia? Pancasilakah? Bahkan penulis tidak yakin, benarkah Pancasila itu sebuah ideologi. Ideologi di dunia ini sebenarnya HANYA ada tiga. 

Yaitu kapitalisme, komunisme dan Al-Islam. Kapitalisme merupakan ideologi ekstrem kanan, dimana kehidupan masyarakatnya sangat liberal, begitu juga dengan sistem ekonominya. Biasanya, negara berideologi kapitalisme memakai sistem demokrasi dengan pimpinannya negara Amerika Serikat. 

Sedangkan ideologi komunisme merupakan ideologi ekstrem kiri di mana kebebasan merupakan benda terlarang. Sistem ekonominya sangat ketat sehingga setiap badan usaha dikuasai pemerintah. Komunisme mulai memudar seiring benteng terakhirnya yaitu RRC malah menggunakan sistem politik dan ekonomi ala kapitalis, walaupun partai komunis masih merupakan partai tunggal nan berkuasa di China. 

Dedengkot komunisme yaitu Uni Soviet telah bubar berkat kerjasama dua ideologi yang sebenarnya pun saling bertentangan. Yaitu kapitalisme yang diwakili Amerika dan Islam yang diwakili para Mujahidin seluruh dunia yang berkumpul di Afghanistan. 

Jika Amerika hanya berani melawan Uni Soviet dalam “Perang” Dingin, maka para Mujahidin lebih memilih jalan Jihad bertempur berdarah-darah dalam usaha meruntuhkan Uni Soviet. Walaupun Amerika bekerjasama dengan diam-diam memberikan bantuan persenjataan kepada para Mujahidin, akan tetapi Ideologi Islamlah pemenang sebenarnya Perang Dingin.

Sedangkan ideologi ketiga ialah ideologi Islam, yang sukses menghancurleburkan paham komunisme. Ideologi Islam merupakan ideologi langsung dari Sang Penguasa Jagad Raya yang tentu lebih tahu seluk beluk kehidupan ini, termasuk mengenai sistem politik. 

Islam mengajarkan ketertundukan total hanya kepada Allah semata. Hanya Dia yang berhak membuat aturan untuk hamba-hambanya lewat Al-Quran dan petunjuk Nabi-Nya, yaitu Al-Hadits. Jika manusia ingin membuat peraturan, harus meminta izin dulu sama Tuhan, atau dengan kata lain, aturan yang dibuatnya tersebut tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran. Inilah bedanya dengan sistem demokrasi. 

Dalam sistem demokrasi, jika ingin menetapkan hukum Tuhan, harus minta izin dulu sama parlemen. Atau kasarannya, Allah minta izin dulu sama Parlemen(meminjam istilah Ustadz Abu Bakar Baasyir). Maka tidak salah juga bila sistem demokrasi dihukumi sistem syirik karena menandingi kekuasaan Allah dalam membuat hukum, jauh dari kalimat tauhid yang tiap hari umat muslim lafalkan, “tidak ada TUHAN selain ALLAH”.

Lalu, jika di dunia ini hanya ada tiga ideologi seperti di atas, dimanakah letaknya Pancasila? Pancasila sebenarnya adalah sebagian kecil dari rancangan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta. 

Itulah naskah asli proklamasi kemerdekaan yang seandainya naskah itu dibacakan niscaya Indonesia menjadi Negara Islam yang adil dan sejahtera hingga sekarang. Tapi Allah berkehendak lain, Dia belum berkenan mencabut periode Mulkan Jabbariyyan yang menyengsarakan ini. 

Yang dibacakan Sukarno tanggal 17 Agustus 1945 hanyalah naskah proklamasi dadakan yang hanya dipersiapkan semalam. Jauh sekali kualitas dari segi bahasa maupun konten bila dibandingkan dengan isi Piagam Jakarta. Akhirnya sama seperti yang kita tahu, Piagam Jakarta akhirnya “hanya” dijadikan “sampul” depan UUD 1945 dan tentu saja frasa “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan.

Jadi benarkah Pancasila itu ideologi? 

Jika dibandingkan dengan kapitalisme, Pancasila hanya meniru warna sekularisme dan pluralismenya, sedangkan mengenai perekonomiannya terkontaminasi fikih ekonomi Islam walaupun masih mengakomodasi riba. Jadi Pancasila itu hanyalah produk modifikasi, bukan produk inovasi. 

Dan pemasarannya pun hanya laku untuk kawasan Indonesia saja. Kalau hemat penulis, Pancasila bukanlah sebuah ideologi, melainkan hanyalah suatu manifesto politik Indonesia.

Sebenarnya kalau melihat agama mayoritas di Indonesia, wajar kiranya kalau kita kembali ke ideologi Islam. Sebelum kapitalisme dan komunisme lahir, Islam telah berjaya menguasai dunia. Lewat institusi Khilafah, Islam menjelma menjadi superpower dunia jauh sebelum Amerika lahir. 

Meskipun sempat berganti-ganti rezim dan beberapa kali mengalami perpecahan, Ideologi Islam tetap eksis bahkan hingga institusi Khilafah yang menaunginya telah hancur sekalipun, seperti sekarang ini. Bahkan tanpa pimpinan Khalifah pun, Uni Soviet porak poranda oleh kekuatan Mujahidin Islam. 

Wajarkah jika Indonesia mengadopsi Ideologi Islam? 

Tentu sangat wajar, bahkan kebangeten banget kalau sampai ada yang menolak. Delapan Puluh Lima Persen lebih umat Islam Indonesia adalah angka yang tidak masuk akal jika sampai ada yang menolak berlakunya hukum Islam.

Lalu seperti apakah bentuk ketatanegaraan Indonesia nanti jika Islam benar-benar diberlakukan? Sebenarnya sistem Islam memiliki sistem sendiri yang unik bila dibandingkan dengan sistem-sistem yang ada di dunia ini, yakni sistem Khilafah. 

Tapi jika dilihat dari perspektif Indonesia yang hanya merupakan negara bangsa, rasanya terlalu berlebihan jika sistem Khilafah yang diberlakukan. Kita bisa menggunakan sistem Islam “lokal” yang akan digunakan sebagai batu pijakan untuk perjuangan selanjutnya menegakkan kembali Daulah Islam di seluruh dunia Islam dengan kepemimpinan tunggal Khalifah. 

Sistem lokal ini pernah dicontohkan dengan sangat apik sekali oleh para pendahulu kita yaitu para Wali songo dalam memerintah Jawa maupun seluruh pelosok Nusantara.

Wali songo sebenarnya adalah istilah politik yang digunakan oleh Dewan Ulama di Tanah Jawa. Akibat serangan Kediri ke Majapahit, maka dakwah Islam terancam. Karena Penguasa Kediri sangat anti Islam, berbeda dengan Majapahit yang melindungi dakwah Islam tersebar di seluruh wilayahnya. 

Untuk menyelamatkan gerakan dakwah, Sunan Ampel berinisiatif untuk membentuk kekuatan politik tandingan dalam menghadapi kediri. Maka disusunlah suatu Negara Islam dengan Sunan Ampel sebagai pemimpinnya. Akan tetapi, Sunan Ampel keburu wafat sebelum merealisasikan niatnya. 

Kepemimpinan Dewan Ulama diteruskan oleh Sunan Giri yang akhirnya merealisasikan Negara Islam di wilayah Jawa. Demak ditetapkan sebagai ibukota. Sistem pemerintahannya adalah kewalian. Wali adalah istilah syar’i untuk menyebut jabatan Kepala Daerah Negara Islam a.k.a Gubernur. 

Pada waktu itu, Dunia Islam tunduk kepada Kekhilafahan Utsmaniyyah. Sehingga dapat diartikan bahwa Demak merupakan Negara Bagian dari Khilafah Utsmaniyyah. Sunan Giri diangkat sebagai Wali bergelar Prabu Satmata. 

Sunan Giri dalam menjalankan pemerintahan dibantu oleh delapan orang ulama lainnya yang dikenal dengan sebutan Wali songo. Sunan Giri sendiri bertindak sebagai pimpinan Wali songo. Jadi wali songo adalah nama Dewan Syura Eksekutif Demak. 

Anggota Wali songo yang lain mendapat peran sendiri dalam pemerintahan; misalnya Raden Patah bertindak sebagai Adipati Demak, Sunan Kudus sebagai Senopati Wilayah Timur, Sunan Fatahillah sebagai Senopati Wilayah Barat, Sunan Gunung Jati sebagai Adipati Cirebon, Sunan Kalijaga sebagai Qadi/Hakim (Kalijaga:Qadi Zaqqa), dan lain sebagainya. 

Baru setelah Sunan Giri wafat, penggantinya Raden Patah mengubah sistem pemerintahan di Demak menjadi Kesultanan. Karena saat itu, wilayah bawahan Utsmaniyyah pada umumnya berbentuk Kesultanan.

Dari asumsi di atas bisa kita simpulkan, bahwa sistem politik yang digariskan para Sunan tersebut bercorak mono politika atau satu atap. Pemerintahan dijalankan oleh satu Dewan Musyawarah yang terpusat di bawah pimpinan satu orang. 

Anggota-anggota Dewan Syura tersebut diberi peran sendiri-sendiri dalam urusan pemerintahan. Jadi, misalpun terdapat pembagian kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif maupun yudikatif atau tif-tif yang lain, semuanya tetap dalam satu kontrol Dewan Syura. Tiap Undang-undang, keputusan Kehakiman, fatwa dan lain-lain keluar dari pintu Dewan Syura. Sehingga tidak terjadi kekisruhan politik seperti yang biasa kita lihat dalam sistem demokrasi.

Untuk merealisasikan penerapan sistem ala para Wali tersebut, maka perlu diadakan revolusi sistem yang sangat ekstrem dalam ketatanegaraan Indonesia. Antara lain;

  1. Anggota MPR bukan hanya DPR dan DPD, tapi juga MA, MK, BPK, MUI serta Kabinet Eksekutif.
  2. MUI dimasukkan kedalam anggota MPR sebagai lembaga fatwa resmi pemerintah.
  3. MPR bukan sebuah Lembaga, tapi hanyalah sebuah forum Musyawarah sehingga tidak dibutuhkan jabatan Ketua maupun Wakil Ketua MPR.
  4. Dalam Sidang MPR, yang menjadi pimpinan Sidang Adalah Presiden selaku Kepala Negara dan sekretaris Negara sebagai penyelenggara Sidang MPR.
  5. Sidang MPR merupakan forum paripurna pengambilan keputusan negara tertinggi.
  6. Setiap RUU dibahas oleh DPR dan bila tercapai kesepakatan, maka RUU dibawa ke Sidang MPR untuk disetujui seluruh Anggota MPR.
  7. RUU yang telah disetujui Anggota MPR disahkan Presiden sbagai Kepala Negara.
  8. Kabinet Eksekutif (kementerian) dipimpin oleh ketua kabinet bisa dengan gelar Perdana Menteri, mangkubumi, Wazir, Patih, Paniradyapati, ataupun gelar lain yang sesuai.
  9. Tugas kementerian adalah melaksanakan UU yang telah disahkan Presiden.
  10. Presiden dapat menyatakan Perang, Perdamaian, Keadaan Darurat, Remisi, Abolisi, Grasi dan rehabilitasi hanya melalui Sidang MPR.
  11. Khusus mengenai Remisi, Grasi, Abolisi dan Rehabilitasi, Presiden mendengarkan pendapat MA.
  12. MK dapat menonaktifkan jabatan Presiden dan menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR untuk memilih Presiden yang baru.
  13. Pemilu hanya untuk memilih anggota DPR dengan syarat yang ketat sesuai syariah.
  14. Masa jabatan Presiden tidak ditentukan selama masih memenuhi syarat secara Syar’i, pemilihan Presiden dilakukan dalam Sidang MPR sesuai point 11.

Demikianlah usulan mengenai sistem pemerintahan lokal ala Wali songo tersebut, semoga dapat memperkaya khazanah alternatif dalam memperbaiki carutmarut sistem ketatanegaraan nasional. Serta menambah semangat memperjuangkan penginstalan Sistem Islam ke dalam kehidupan Bumi Allah yang bernama Indonesia ini.

Kata Kunci Pencarian: jejak wali songo, sistem ketatanegaraan, sistem pemerintahan yang dipakai di afganistan

Sumber: abdillahajisasmito com
LihatTutupKomentar