Terpaku Gelar, Lupakan Keahlian

Terpaku Gelar Lupakan Keahlian - Dulu masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Program Diploma sebab perguruan tinggi yang menyelenggarakan
Terpaku Gelar, Lupakan Keahlian

Terpaku Gelar Lupakan Keahlian - Dulu masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Program Diploma sebab perguruan tinggi yang menyelenggarakan memang tidak memberinya gelar Sarjana (S1), Magister (S2), atau doktor (S3), melainkan dengan gelar Ahli Madya (AMd), baik untuk Diploma 1, Diploma 2, maupun Diploma 3. Padahal esensi dari program ini sebenarnya pendidikan vokasional yang lebih menitikberatkan pada keahlian terapan pada bidang tertentu. 

Dulu pun, Program Diploma ini, khususnya pada kampus negeri, begitu amat diminati. Saat itu, Program Diploma dikelola langsung oleh setiap fakultas sesuai dengan rumpun ilmunya. Mahasiswa program ini pun bisa begitu mudah untuk studi lanjut jenjang sarjana dan jenjang pascasarjana (alih program) pada fakultas yang menaungi. Ini membuat Program Diploma kala itu menjadi pintu alternatif bagi yang tidak lolos bersaing masuk Program Sarjana.

Namun kini, sejak 2009, sejak seluruh Program Diploma dialihkan pengelolaannya secara mandiri (tidak lagi di bawah fakultas), peminat malah cenderung turun. Padahal pemerintah sudah melakukan penguatan pendidikan vokasional jenjang sekolah menengah melalui pembangunan banyak SMK. Idealnya, akan lebih banyak lulusan SMK yang memilih studi lanjut di program vokasional jenjang pendidikan tinggi.

Menurut Prof Dr Ir M Munir MS, Direktur Program Vokasi Universitas Brawijaya, terdapat kesalahan berfikir dalam melihat bentuk layanan pendidikan di perguruan tinggi. Banyak masyarakat yang melihat bahwa kuliah haruslah berakhir dengan gelar sarjana. Padahal perguruan tinggi mengemban tugas menyelenggarakan pendidikan akademis (Sarjana), vokasi (diploma), dan juga profesi (spesialis).

Posisi pendidikan vokasi, menurut mantan Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Kementerian Pendidikan Nasional ini, mahasiswa akan lebih banyak dibekali keahlian terapan. Beda dengan jenjang sarjana yang lebih banyak mengedepankan kajian pengetahuan dan teori. Berikut penuturan Munir kepada Mas Bukhin dan fofografer Rakmat Basuki dari media koran pendidikan.

Ada data yang cukup menarik bahwa banyak lulusan SMK yang lebih memilih studi lanjut pada jenjang Sarjana. Padahal mereka sudah dibekali basis keahlian yang idealnya bisa makin diperdalam lewat program vokasional di perguruan tinggi atau yang dulu dikenal sebagai Program Diploma. Bagaimana penjelasan Anda?

Untuk data yang menyebut bila lulusan SMK banyak yang memilih jenjang sarjana, terus terang, kami belum melakukan analisa tentang hal itu. Hanya dari data yang kami punya, memang banyak mahasiswa Pendidikan Vokasi UB itu yang lulusan SMA. Ini yang menurut kami menjadi salah satu alasan yang bisa menjelaskan hal itu. 

Bahwa lulusan SMK kurang mampu bersaing dengan lulusan SMA, bahkan pada level pendidikan vokasi yang seharusnya mereka ada di bidang itu sejak sekolah. Tapi apa data-data tersebut bisa menjadi gambaran umum turunnya peminat lulusan sekolah menengah untuk studi lanjut pada pendidikan vokasional di perguruan tinggi?

Harus kami akui memang ada kecenderungan turunnya peminat pada Program Pendidikan Vokasional jenjang pendidikan tinggi ini. Salah satu faktornya, di UB program ini tidak lagi dinaungi oleh fakultas, melainkan dikelola secara mandiri. 

Jadi semua program (diploma) yang dulu dinaungi fakultas itu dikumpulkan dalam Program Pendidikan Vokasi ini sejak 2009. Di Indonesia, baru tiga kampus yang menggunakan model seperti ini yaitu UB, UGM, dan UI. Sisanya masih ada yang melekatkan program ini pada fakultasnya masing-masing.

Sejauhmana lepasnya pengelolaan dari fakultas itu turut mengurangi peminat?

Ada faktor psikologis. Saat dinaungi fakultas, mahasiswa jenjang program diplomanya pun bisa bangga menjadi bagian dari fakultas itu. Di samping, lulusan program ini bisa lebih mudah untuk alihjenjang ke program sarjana pada fakultas yang sama. Ini yang kemudian membuat program ini kala itu ibarat pintu masuk alternatif kuliah jenjang sarjana di kampus negeri. Terlebih bagi mereka yang tidak bisa bersaing lewat jalur tes tulis.

Bukannya hal ini sudah diperhitungkan matang-matang sebelum akhirnya pengelolaan program vokasi ini disatukan. Dan kenyataan bahwa banyak kampus lain yang tetap membiarkan pengelolaan program vokasi di fakultasnya?

Penyatuan program vokasi ini lebih berdasarkan pada konsistensi keilmuan. Bagaimana bisa program vokasional yang menitikberatkan pada keahlian terapan itu dinaungi pada fakultas yang lebih berbasis keilmuan murni. Apalagi dipermudah alihjenjangnya dari keilmuan terapan ke keilmuan murni. Harusnya kan ada konsistensi; dari jenjang (diploma) ilmu terapan, naik ke jenjang (sarjana) terapan atau Diploma IV.  Dan ke depan harusnya ada jenjang magister terapan dan juga doktor terapan yang itu secara konsep berbeda dengan magister ilmu murni dan doktor ilmu murni. 

Dan apa pertimbangan itu turut dipahami oleh masyarakat hingga berpengaruh pada turunnya peminat pada program vokasi di perguruan tinggi?

Secara tidak langsung iya. Sebab masyarakat pada akhirnya lebih menjatuhkan pilihan pada jenjang yang bisa memberikan gelar, minimal sarjana. Nah ini kan ada didomain fakultas. Padahal untuk kebutuhan dunia kerja, keahlian terapan yang menjadi domain program vokasi, itu bisa menjadi modal lebih penting ketimbang kemampuan atas keilmuan murni. Tapi ya itu, gelarnya saja yang ingin diburu, keahliannya ditinggalkan.

Apa ada faktor kesamaan kurikulum di program vokasi jenjang pendidikan tinggi ini dengan kurikulum SMK, sehingga ada kesan lulusan SMK yang akan masuk program ini akan mengalami pengulangan saja?

Sama dari sisi program keahlian, memang iya. Bahkan ada yang sampai overlapping seperti pada program keahlian komputer dan TIK. Namun kalau dari sisi kurikum, tentu kami pun tidak ingin bila itu mengalami persamaan. Setidaknya ada tiga perbedaan yang kami buat. Pertama, kurikulum kami sifatnya memperdalam kurikulum di SMK. 

Ini ditandai dengan pelibatan elemen industri dalam penyusunan kurikulum sekaligus tenaga pendidik yang lebih kompeten. Kedua, kurikulum kami kemas secara berbeda. Artinya, setiap mahasiswa Program Vokasi UB, selain memiliki keahlian sesuai programnya juga diwajibkan memiliki keahlian penunjang yakni Bahasa Inggris dan Teknologi Indformasi. Dan Ketiga, ada cara kami menjual. Yakni menyiapkan jaringan dan kerjasama dengan dunia kerja untuk siap menampung lulusan.

Bila boleh membandingkan, apakah pada program vokasi di kampus lain yang model pengelolaannya sama dengan UB ini juga mengalami kondisi umum serupa, yakni turunnya jumlah peminat?

Kalau UGM, saya belum dapat data. Sepengatuan saya, Program Vokasi UI itu bisa berkembang pesat. Boleh percaya boleh tidak, jumlah mahasiswa program ini di UI mencapai 8 ribu, gedung mereka juga megah. Salah satunya memang ditopang dengan kejelian pengelola dalam membuka program keahlian. Pernah Anda membayangkan ada program keahlian untuk membantu dokter menyiapkan peralatan operasi dan praktik? Di UI itu ada.

Berarti kuncinya ada di pengelola. Lalu bagaimana dengan pembiayaan? Apa turut memberi faktor besar pada peminat ini?

Bisa ada pengaruh. Masyarakat mungkin lebih dulu memandang label UB nya sehingga merasa biaya yang bakal ditanggung untuk program vokasi ini juga bakal besar. Padahal yang harus bisa kami pastikan adalah setiap calon mahasiswa yang sudah diterima seleksi masuk perguruan tinggi, apapun jenjang programnya, tidak ada alasan apapun untuk menolak mereka. Termasuk bila ada yang kesulitan pembiayaan. Kampus wajib menerima.
LihatTutupKomentar