SANDAL JEPIT Hukum di Negeri Kita

Kasus korupsi dan kasus sandal jepit atau kasus orang-orang kecil lainnya, menunjukkan ironi hukum kita. Barangkali karena kasus korupsi dilakukan...
SANDAL JEPIT Hukum di Negeri Kita

Kita tahu, sandal jepit selalu dipakai alas kaki. Karena itu, ketika dipakai sandal jepit pasti diinjak kaki. Kemana saja kaki melangkah, pastilah sandal jepit itu pasti diinjak (injak). Kita tahu, ada banyak model sandal jepit dan harganya pun ada yang mahal. Namun, meski harganya mahal, sandal jepit tidak bisa lepas dari injakan kaki.

Kasus sandal jepit itu mendapat perhatian banyak kalangan. Para tokoh masyarakat mengomentari atas kasus yang tidak seberapa, dan sebenarnya bukan sebagai tindak kriminal, melainkan kenakalan remaja, namun Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah meletakkannya dalam koridor pidana dan pelakunya harus disidang. 

Anehnya, barang bukti di pengadilan bukan sandal yang "dituduhkan" dicuri AAL. Sandal jepit yang dituduhkan dicuri AAL merek Eigner nomor 43, milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimop Polda Sulteng. Di persidangan sandal yang dipakai sebagai alat bukti adalah sandal merek Ando nomor 9,5. Putusan hakim, dalam persidangan tidak menyebutkan sandal milik Ahmad, setidaknya seperti diberitakan oleh harian Kompas (6/1).

Kasus-kasus hukum yang menimpa orang-orang kecil seperti dialami AAL, bukanlah kasus pertama. Ada sejumlah kasus lain, yang skalanya juga kecil dan tidak pantas untuk disidangkan, tetapi oleh hukum kita tetap divonis bersalah. Orang mengatakan, hukum kita tidak memiliki rasa ampun pada rakyat kecil. 

Selain kasus sandal jepit yang menimpa AAL. Pengadilan Negeri Purwokerto (10/2009) juga pernah memvonis bersalah dan menghukum Amanah (55 th) 1 bulan 15 hari, karena dituduh mencuri 3 butir kakao seharga Rp. 2.100. Di Pengadilan Negeri Batang 4 orang masing-masing Manisih (39), Sri Suratmi (19), Juwono (16), Rusnoto (14) divonis 14 hari, hanya karena mencuri satu karung plastik buah randu senilai Rp 12.000 perbatang. 

SANDAL JEPIT Hukum di Negeri Kita

Pencuri ayam Jago, Agus Budi Santosa (25), divonis penjara 4 bulan oleh Pengadilan Negeri Bojonegoro. Pengadilan Negeri Bangil, (10/2010) memvonis 1 bulan 20 hari terhadap supriyadi yang mencuri dua batang singkong dan satu batang bambu. 

Seorang pekerja rumah tangga, Amirah namanya, dipenjara 3 bulan 24 hari, karena dituduh mencuri karung bekas seharga Rp 3000.

Kasus-kasus kecil yang menimpa rakyat kecil, semakin membuat rakyat kecil tidak berdaya di depan hukum. Apalagi hukum tidak memihaknya. Malah menyalahkannya dan memasukannya ke dalam penjara. Berbeda dengan kasus-kasus korupsi, yang jumlahnya jauh lebih besar dari harga sandal jepit dan kakao, kalau tidak dihukum ringan, malah dihukum bebas dan dinyatakan tidak bersalah. 

Misalnya PN Tipikor Bandung memvonis bebas (8/2011) Bupati Subang, Eep Hidayat, atas tuduhan korupsi biaya pemungutan PBB Rp. 14 miliar. Hal yang sama juga dialami oleh Agus M Najamuddin, Gubernur Bengkulu, divonis bebas oleh PN Jakarta Pusat atas tuduhan korupsi dana bagi hasil PBB 2006-2007 senilai Rp. 21, 3 milliar.

Kasus korupsi dan kasus sandal jepit atau kasus orang-orang kecil lainnya, menunjukkan ironi hukum kita. Barangkali karena kasus korupsi dilakukan oleh pejabat dan biasanya dilakukan tidak sendirian, yang membuat hukum "kesulitan" untuk membuktikan. 

SANDAL JEPIT Hukum di Negeri Kita

Atau karena perkaranya menyangkut uang yang besar, sehingga hukum bisa "dikendalikan" oleh uang. Berbeda dengan pencurian sandal jepit, ayam yang dilakukan sendirian dan hasilnya uangnya sangat kecil, tidak mampu "mengubah" ketegasan hukum. Malah sebaliknya, hukum sangat tegas terhadap kasus-kasus kecil yang tidak merugikan uang Negara.

Rasanya, hukum kita adalah "hukum sandal jepit". Hukum yang hanya menginjak(injak) orang kecil, yang tidak lebih diperlakukan seperti sandal jepit. Hukum seperti tidak menoleh pada keadilan, atau kebenaran, melainkan menafsirkan pasal secara mati, seolah bunyi pasal merupakan "instruksi" yang tidak bisa dilanggar. 

Tapi kenapa, terhadap kasus-kasus korupsi besar, pasal bisa "dibaca" lain, sehingga bisa membebaskan koruptor yang mergikan uang negara.

Rasanya, kita bukan hidup di negara hukum, melainkan hidup di negara yang "dikuasai" pemilik modal. Pantas rakyat yang tidak memiliki modal diperlakukan seperti "sandal jepit".
LihatTutupKomentar