Back To Cilikan

Lha piye, dengan nonton acara itu simbah seperti dibawa lagi ke masa-masa jaman cilikan. Jaman yang paling nak nan (baca: huenak tenan).
Back To Cilikan

Back To Cilikan - Selama liburan anak-anak sekolah ini simbah banyak nemenin si mbarep dalam memilih tontonan tipi. Salah satu acara yang kebetulan dia sukai adalah Si Bolang (Si Bocah Petualang). Ha kok ndilalah simbah juga suka acara itu. Lha piye, dengan nonton acara itu simbah seperti dibawa lagi ke masa-masa jaman cilikan. Jaman yang paling nak nan (baca: huenak tenan). Hidup dijalani tanpa beban.

Dengan melihat petualangan si Bolang, simbah terkenang masa-masa masih suka dridisan turut peceren (comberan), malam-malam nggedhig welut berbekal arit sama sentolop bin sokle. Semasa masih bagus airnya, semalam nggedhig bisa dapet seember belut plus lele, ditambah beberapa ekor ular korban salah gedhig (karena disangka welut).

Sang ahli nggedhig adalah si Prapto Mbedheh adiknya Bandi tukang jamu. Dipanggil Mbedheh karena bibirnya rodo ndoweh. Di saat selokan dan kalen (kali kecil) ditutup trotoar, para Eel Hunters ini kehilangan medan tempur. Akhirnya ditekati juga masuk ke bawah trotoar. Bahayanya cuma satu, yakni kalo tiba-tiba aliran kali mendadak banjir. 

Yang terjadi adalah para penggedhig welut itu lari kroncalan, nyari lobang trotoar buat naik ke atas. Cebung.. cebung.. cebung… semua panik. Kadang ular saja diidek-idek gak sadar. Adalagi teman simbah masa kecil yang namanya Karnawan, panggilannya Kinthil

Simbah gak paham, apa sebab musababnya dia dipanggil Kinthil. Ada yang berpendapat karena dia punya tahi lalat kecil di wajahnya yang keliatan nginthil-inthil. Tapi ada juga yang bilang karena tititnya terlalu kecil. Maka dipanggillah Kinthil. Dia ini punya kebiasaan lucu. Yakni memotong klurukkannya (kokokan) sang ayam jago. 

Dia amati ayam-ayam jago yang hendak kluruk. Begitu sang ayam jago tarik napas panjang dan sudah tarik suara…“Kukuruuu….” Tiba-tiba si ayam dikagetin… “husyaa..husyaaaa…” Kontan saja si jago jadi nggonduk. Tinggal bunyi.. “Yuuuk….” kok dipotong klurukannya. 

Maka yang keluar adalah bunyi tak beraturan dari si ayam… “huluk..huluk..huluk..”. Kalo anjing mungkin kaing-kaing. Simbah beserta konco-konco pada ngakak ndenger klurukan gagal si ayam jago itu. Mungkin rasanya kayak mau wahing (bersin) tapi gagal… jian nganyelkeh

Keliatan kejem sebenarnya, tapi tak sekejam perilaku konco-konco saat ngusir kucing gandhik. Kucing gandhik adalah kucing yang suaranya macam tangisan bayi di saat mereka mau melakukan ritual kawin. Mungkin kalo orang pacaran, mereka itu sedang rayu merayu dengan puisi mendayu-ndayu. 

Tapi yang terdengar oleh manusia adalah gandhikan si kucing yang kadang mbikin merinding. Maka biasanya kucing gandhik tadi dibandemi batu sama anak-anak. Bayangkan jika itu manusia, rasanya lak kayak YZ konangan lagi main sama ME trus digrupyuk. Itulah masa kecil. 

Dengan melihat tingkah si Bolang, memori lama tentang masa kecil simbah terkuak satu-satu. Simbah hanya sedih saja, si mbarep gak bisa mengalami seperti yang ditayangkan di tipi itu. Anak-anak mandi di kali, mancing, berburu ndok iyik sama ndok erok (nama-nama capung), tahu nama-nama binatang, nama-nama daun dan pohon dan lain sebagainya.

Ada keniatan simbah pingin balik ke kampung saja. Lha di Jakarta ini anak-anak jauh dari alam terbuka. Dibiarkan sedikit keluar ndrawasi bin mbebayani. Di rumah terus njelehi. Suasana alam desa yang ada di Jakarta ini harus dibeli dengan mahal. 

Masuk Rumah Makan bernuansa ndeso, lesehan, makan pincukan wal pulukan dengan daun pisang, dilatari pemandangan alam buatan, sekali magrok harus mbayar ratusan ribu. Di Sukabumi ada arena berkebun dan nyawah disertai kolam-kolam yang asri. 

Tapi per orangnya harus ngrogoh duit tak kurang dari 400 rebu ripis hanya untuk nyeblung di blethokan (lumpur), nangkepi ikan-ikan di kolam dan berkubang. Terus terang, sebenarnya banyak dari kita yang rindu suasana masa kecil dengan latar belakang suasana ndesonya. Tapi alangkah mahalnya untuk bisa kembali mengingat masa itu. 

Godril saja sudah langka. Pohon Trembesi mulai dibabati, sementara di Singapura, pohon itu justru dijadikan pohon penghijauan. Mereka mengimpornya dan membudidayakannya. 

Mungkin suatu saat Indonesia ini malah mengimpor Godril dari njaban rangkah, mengimpor Trembesi, mengimpor pohon beringin (kalo gambarnya gak), mengimpor ndok iyik, belut, dan lain sebagainya. 

Karena hutan sudah dibabati, sungai sudah dikotori, alam sudah dicemari. Semua impor-impor tadi sudah diawali dengan impor beras.
LihatTutupKomentar