HIKMAH TIDUR

Di sinilah kemudian ide tulisan ini muncul. Betapa luar biasanya hal sederhana itu. Untunglah, tidak perlu kaya raya untuk bisa tidur.
HIKMAH TIDUR

Hikmah Tidur - Bukan, bukan. Ini bukan sebuah tulisan ala Gede Parma maupun Samuel Mulia, juga bukan naskah pidato khotbah Jumat. Saya hanya ingin berbagi tentang hal sepele yang selintas berkelebat di benak saya, tentu saja setelah saya sempat sharing dengan istri mengenai hal ini.

Siang kemarin, 5 Oktober 2007, seharian saya berada di jalanan. Jalan Yogya bagian selatan yang penuh dengan kendaraan, ditambah dengan teriknya panas matahari karena sang penguasa panas sedang beralih ke peraduannya yang baru demi terciptanya pergantian musim, benar-benar terasa menyiksa karena bulan ini saya sudah berjanji tidak seenaknya melepas dahaga di siang hari.

Sebuah perjalanan demi pemenuhan harapan atas segala kebutuhan berkait dengan kehadiran si kecil, satu keharusan yang sama sekali tidak terbayang untuk dikeluhkan. Bahkan sejujurnya, saya senang dan bahagia. Hanya saja tenggorokan serasa dipanggang.

Macetnya kondisi ruas jalan dari mulai Pojok Beteng Timur ke utara hingga seputaran Jalan Mataram, membuat panas dan dahaga melahirkan hal baru pada tubuh, sebuah kelelahan. Belum lagi dengan posisi foot-step yang tepat sejajar dengan barisan knalpot yang ikut antri menuju sebuah ujung, memapar permukaan kulit yang tak terbungkus alas. Kebetulan saya memang tidak hobi memakai sepatu.

Episode Selanjutnya: Kantor


Setelah penat melanda sepanjang jalan, barulah saya mampir ke kantor. AC tidak pernah saya nyalakan karena saya memang orang desa yang tidak tahan AC. Dan kali kemarinpun, saya tetap tidak menghidupkan AC, pengalaman mengajarkan dalam kondisi seperti itu kalau dijawab dengan AC yang terjadi justru hidung tersumbat dan badan menggigil. Ya sudahlah, ruang 3 x 3 saya biarkan panas.

Beberapa pekerjaan yang menumpuk karena menghadapi liburan panjang, mau tidak mau tetap harus diselesaikan. Tidak peduli rupanya pekerjaan itu dengan kondisi badan dan teriknya mentari. Oleh karenanya, bercengkerama di kampung-pun tidak sederas biasanya. Setelah dipikir-pikir, sepertinya akhir-akhir ini saya memang jarang ngobrol di kampung ya.

Ternyata badan tetap memiliki batasnya sendiri. Nyatanya otak saya tidak mau bekerja. Justru ketika hari sudah menjelang sore, ketika istri mengingatkan bahwa malamnya ada buka bersama jadi musti segera pulang, barulah ide muncul di kepala. Buru-buru saya selesaikan pekerjaan, yang alhamdulillah beres dan tinggal merapikan, untuk kemudian saya menempuh perjalanan 5km, menjemput istri.

Episode Rumah: Terkapar


Terus terang, kondisi seperti ini bukanlah kondisi ideal untuk memboncengkan istri ataupun perempuan yang sedang hamil 9 bulan. Konsentrasi di jalan berkali-kali hilang. Singkat kata, motor sampai di halaman belakang rumah mertua, hati rasa lega.

Kuputuskan untuk berbaring sejenak, menghimpun sisa tenaga untuk nanti menempuh jarak 5 km lagi, menuju tempat buka bersama. Dan kemudian istri menyapa, “jam setengah enam” katanya. Loh, berarti aku tertidur, satu atau dua jam. Tidak terasa, dan yang kurasakan kemudian justru badan yang segar dan semangat yang timbul.

Mungkin saja sih, semangat yang timbul itu karena waktu berbuka yang sudah dekat. Wajar kan? Namun sepertinya tidak hanya itu. Tidur itulah yang luar biasa. Kondisi badan yang berada pada dinamika sel terkoordinasinya membuat tubuh rileks dan menghilangkan penat. Di sinilah kemudian ide tulisan ini muncul. Betapa luar biasanya hal sederhana itu. Untunglah, tidak perlu kaya raya untuk bisa tidur.

Motor aku stater, berbonceng menuju Jalan Monjali. Terimakasih Sang Pemberi Tidur, hari ini aku belajar lagi salah satu kebijakanMu.

Vale, demi kesehatan.

El simbah, tidur dan bermimpi menunggu buka sambil minum es teh.

p.s. quote terakhir dicetuskan oleh istri saya
LihatTutupKomentar