J. KRISHNAMURTI: CERAMAH UMUM KE-10, SAANEN (SWISS)

J. KRISHNAMURTI : CERAMAH UMUM KE-10, SAANEN (SWISS), 12 Agustus 1962 (diterjemahkan oleh : bpk hudoyo h)
J. KRISHNAMURTI: CERAMAH UMUM KE-10, SAANEN (SWISS), 12 Agustus 1962
Jiddu Krishnamurti

J. KRISHNAMURTI: CERAMAH UMUM KE-10, SAANEN (SWISS), 12 Agustus 1962 
(diterjemahkan oleh : bpk hudoyo h)

Saya rasa kita semua sadar akan perubahan-perubahan lahiriah luar biasa yang tengah berlangsung di dunia, tetapi sangat sedikit dari kita yang berubah secara batiniah, secara mendalam. Entah kita mengikuti suatu pola pikiran yang dibuat oleh orang lain, atau kita menciptakan kerangka ideasional kita sendiri, yang di dalamnya kita berfungsi; dan kebanyakan dari kita tampaknya sangat sukar untuk membebaskan diri dari pola konseptual ini. 

Kita hidup dari sebuah konsep ke konsep lain, dari suatu ide ke ide lain, dan kita menganggap gerak ini adalah perubahan. Tetapi, seperti bisa kita lihat jika mengamati agak teliti, sebetulnya itu bukan perubahan sama sekali. Pikiran tidak menghasilkan perubahan yang mendalam. 

Pikiran bisa menjadi sebab dari penyesuaian-penyesuaian superfisial, ia bisa menciptakan atau menyesuaikan diri pada suatu pola baru, tetapi secara batiniah tidak ada perubahan yang bermakna: kita tetap kita yang dulu, dan kemungkinan besar akan berlanjut seperti itu. 

Penyesuaian & konformitas lahiriah ini selalu berkaitan dengan ketidakmantapan batiniah kita, ketidakpastian batiniah kita, di dalam batin kita merasa takut dan cenderung untuk lari dari sudut-sudut batin kita yang gelap dan tak terjelajahi. 

Pagi ini saya ingin membahas sesuatu yang saya rasa amat penting; tetapi sebelumya saya rasa kita perlu menyadari bahwa gerak lahiriah dan gerak batiniah dari kehidupan pada dasarnya sama. Penting untuk tidak membagi gerak ini menjadi dunia lahir dan dunia batin. Itu seperti air laut yang surut jauh dan pasang dalam. 

Jika kita memisahkan gerak kehidupan ini menjadi yang lahir dan yang batin, yang material dan yang spiritual, maka muncullah seluruh kontradiksi dan konflik ini. Tetapi jika kita secara aktual mengalami gerak ini sebagai proses yang tunggal, yang mencakup yang lahiriah maupun yang batiniah, maka tidak ada konflik. 

Gerak batiniah tidak lagi merupakan reaksi terhadap gerak lahiriah, itu tidak lagi merupakan pelarian dari dunia, jadi kita tidak menarik diri ke dalam sebuah biara, atau ke sebuah menara gading pengasingan diri. Bila kita telah memahami arti dari yang lahiriah, maka gerak batiniah tidak lagi menjadi lawan dari yang lahiriah; maka ia bukan lagi reaksi, dan dengan demikian bisa menembus jauh lebih dalam lagi. 

Jadi saya rasa, ini hal pertama yang perlu dipahami: bahwa kita tidak bisa memisahkan yang lahiriah dari yang batiniah. Itu merupakan proses tunggal, dan ada keindahan besar di dalam melihat kemustahilan pemisahan ini. Tetapi, untuk menyelami proses tunggal ini dengan lebih luas, kita perlu memahami hakikat kerendahan hati.

Jadi rendah hati bukanlah sesuatu untuk dicapai; tetapi Anda akan sampai ke situ secara alamiah, mudah dan anggun ketika gerak lahiriah dan batiniah terlihat sebagai satu proses total; dan setelah itu Anda mulai belajar. Belajar adalah keadaan batin yang tak pernah menimbun pengalaman sebagai ingatan, betapa pun nikmatnya pengalaman itu. 

Itu adalah keadaan batin yang tak pernah menghindari kesedihan, frustrasi. Batin seperti itu selalu berada dalam keadaan belajar, batin seperti itu memiliki kerendahan hati. Dan Anda akan menemukan bahwa dari rendah hati datanglah disiplin. Kebanyakan dari kita tidak berdisiplin. Kita menyesuaikan diri, mencocokkan, meniru, menekan, mensublimasikan, tetapi semua itu bukan disiplin. 

Penyesuaian diri bukan disiplin, itu hanyalah dampak dari rasa takut, dan dengan demikian membuat batin sempit, bodoh, tumpul. Saya bicara tentang disiplin yang muncul secara spontan ketika ada rasa rendah hati yang luar biasa ini, dan dengan demikian batin berada dalam keadaan belajar. Maka Anda tidak perlu menerapkan disiplin terhadap batin, oleh karena keadaan belajar itu adalah disiplin dalam dirinya.

Kebebasan menyiratkan pengosongan batin secara total dari apa yang dikenal. Saya tidak tahu apakah Anda pernah mencoba ini sendiri. Yang penting adalah membebaskan batin dari apa yang dikenal, atau lebih tepat membebaskan diri dari apa yang dikenal. Ini bukan berarti batin harus bebas dari pengetahuan faktual. 

Sampai taraf tertentu Anda perlu memiliki pengetahuan seperti itu. Jelas Anda tidak bisa membebaskan diri dari pengetahuan di mana Anda tinggal, dan sebagainya. Tetapi batin bisa membebaskan diri dari latar belakang tradisi, dari timbunan pengalaman, dan dari berbagai dorongan sadar atau tak-sadar yang merupakan reaksi dari latar belakang itu; dan bebas sepenuhnya dari latar belakang itu berarti mengingkari, mengesampingkan, mati terhadap apa yang dikenal. 

Jika Anda lakukan ini, Anda akan menemukan sendiri betapa sungguh bermakna kebebasan itu. Saya tidak tahu apakah Anda pernah merasakan ‘austerity’ sepenuhnya yang luar biasa ini–yang tidak ada kaitan apa pun dengan disiplin pengendalian diri, penyesuaian, dan konformitas. 

Dan ‘austerity’ ini perlu, oleh karena di dalam ‘austerity’ ini terdapat keindahan besar dan cinta intens. ‘Austerity’ inilah yang penuh gairah; dan ‘austerity’ ini hanya muncul bila terdapat kesendirian batiniah. Batin yang kesepian, penuh ketakutan terombang-ambing oleh berbagai pengaruh yang tak terhitung; seperti sebongkah tanah liat, ia lentur, mudah dibentuk, dipaksa masuk ke dalam suatu cetakan. 

Tetapi kesendirian adalah kebebasan batin sepenuhnya dari semua pengaruh: pengaruh dari istri, dari suami, dari tradisi, dari gereja, dari negara. Itu adalah kebebasan dari pengaruh bacaan Anda, dan dari pengaruh tuntutan-tuntutan tak-sadar dari batin Anda sendiri. 

Dengan kata lain, kesendirian adalah kebebasan penuh dari apa yang dikenal. Itu adalah keadaan belajar, yang muncul ketika batin memahami seluruh proses kehidupan; dan itu membawa serta suatu disiplin yang bukan disiplin gereja, atau tentara, atau seorang spesialis, atau atlit, atau orang yang mengejar pengetahuan. 

Itu adalah disiplin yang lahir dari rasa rendah hati yang dalam; dan tidak mungkin ada kerendahan hati jika batin tidak sepenuhnya berada sendiri. Saya tidak tahu apakah Anda pernah menyadari bagaimana Anda mengumpulkan, bagaimana batin berpegang pada banyak pengalaman-pengalaman remeh. 

Batin menyediakan lahan yang di situ berbagai pengalaman yang melintas berakar dan membentuk batin lebih jauh. Hampir setiap pengalaman meninggalkan jejaknya, dan dengan demikian pengalaman hanya melestarikan keterbatasan batin. 

Tetapi, setelah menanamkan landasan yang benar dengan melihat dan memahami keterbatasannya sendiri melalui proses ini, jika batin–dengan mudah, tanpa konflik apa pun–membebaskan diri dari apa yang dikenal, maka muncullah suatu gerak yang adalah penciptaan (creation).

Nah, untuk menemukan apakah Tuhan ada atau tidak ada, Anda harus menghancurkan segala sesuatu di dalam diri Anda yang merupakan dampak dari propaganda. 

Yang sekarang kita namakan agama telah dibentuk, dibangun selama berabad-abad oleh manusia di dalam ketakutannya, di dalam keserakahannya, di dalam ambisinya, di dalam harapan dan keputusasaannya. 

Dan untuk menemukan apakah Tuhan ada atau tidak ada, batin harus menghancurkan secara total, tanpa motif, semua timbunan masa lampau; ia harus menghapuskan semua kepercayaan dan ketidakpercayaan, dan sepenuhnya berhenti mencari. 

Batin harus kosong dari apa yang dikenal, kosong dari Juruselamat, kosong dari tuhan-tuhan yang telah dibentuk oleh pikiran dan dipahat dari kayu atau batu. Hanya jika batin bebas dari apa yang dikenal, ia bisa berada dalam keadaan hening sepenuhnya, yang bukan dihasilkan oleh pernapasan, oleh latihan, oleh rekayasa, oleh obat-obatan. 

Dan kita harus melangkah sejauh itu–tetapi sesungguhnya tidak ‘jauh’, tidak ada jarak. Tetapi untuk menghapus jarak, waktu harus berakhir; dan waktu hanya berakhir bila diri ini dikenal sebagaimana sesungguhnya ada dari fakta ke fakta. 

Di dalam kebebasan luar biasa ini, yang mulai dengan pengenalan-diri, terdapat suatu gerak–gerak yang tak terukur, di luar semua konsep. Gerak itu adalah penciptaan (creation); dan bila batin sampai pada gerak ini, ia akan menemukan sendiri bahwa cinta, kematian dan penciptaan adalah sama. 

[CATATAN: Lihat bagaimana K berputar-putar di sini, tanpa mau ‘committed’ pada suatu ‘belief system’, ketika harus menjawab pertanyaannya sendiri, apakah Tuhan ada atau tidak ada; dan pada akhirnya ia sampai pada suatu ungkapan yang–sekalipun tidak definitif, tidak deskriptif, dan hanya bersifat tangensial (menyentuh saja)–namun bernuansa "positif" tanpa label apa pun ("Tuhan", "Brahman", nirwana" dsb) yang bisa menjadi landasan bagi suatu belief system–"… 

Gerak yang tak terukur, di luar semua konsep; gerak itu adalah penciptaan (creation); dan bila batin sampai pada gerak ini, ia akan menemukan sendiri bahwa cinta, kematian dan penciptaan adalah sama"–SETELAH ia menekankan bahwa kita harus membuang semua kepercayaan dan ketidakpercayaan kita, membuang semua timbunan dari masa lampau, membuang semua yang dikenal, melalui ‘pengenalan-diri’, dan masuk ke dalam keheningan total (keadaan meditatif)./hh]

PENANYA: Bukankah kebebasan itu seperti udara, dan tidakkah kita membangun bagi diri kita sebuah tenda seperti ini, yang menghalangi masuknya udara? Kita hanya perlu melubangi tenda itu, dan udara pun akan mengalir masuk.

Pak, bila orang sangat lapar, apa gunanya menguraikan kepadanya suatu makanan yang lezat atau citarasa yang enak? Ia menginginkan makanan. Teori dan deskripsi tidak berarti bagi seorang yang lapar ingin menemukan sendiri apa yang benar. Tetapi sayang kebanyakan dari kita tidak lapar dalam arti itu. 

Secara psikologis kita kenyang oleh karena kita dipenuhi pengalaman-pengalaman kita, dan kita berlindung di balik dogma, di balik kepercayaan. Kita merasa aman dalam bergabung dengan kelompok ini atau itu, dengan gereja ini atau itu. 

Dan bila kita merasa tidak puas, yang amat jarang terjadi, kita serta merta membungkamnya dengan mencari sesuatu yang akan memberikan kepada kita kepuasan seketika. Yang penting ialah merasa sangat lapar secara psikologis, dan tetap berada dalam keadaan lapar itu tanpa menjadi gila atau neurotik. 

Masalahnya bukanlah bagaimana membuat kenyang, oleh karena begitu Anda memberinya makan, Anda tersesat. Anda dapat dengan mudah mengenyangkannya dengan kata-kata, dengan teori-teori, dengan buku-buku, dengan gereja-gereja, dengan segala macam. 

Tetapi jika Anda tetap berada dalam keadaan lapar yang mendalam secara psikologis tanpa berputus asa, itu seperti api yang menyala yang akan menghanguskan setiap hal yang palsu sampai tidak ada apa-apa lagi yang tinggal selain abu, dan dari kekosongan itu sesuatu yang nyata bisa terjadi.

PENANYA: Apakah perubahan yang Anda bicarakan terjadi melalui kehendak? Adakah suatu motif di belakangnya?

Kita semua tahu bahwa melalui kehendak kita bisa memaksakan diri melakukan hal-hal tertentu. Jika saya berkata, "saya tidak akan marah esok," dan saya mengerahkan kehendak saya dengan kuat ke arah itu, saya bisa mencegah agar diri saya tidak marah esok. 

Tetapi itu bukan perubahan; seperti saya tunjukkan sebelum ini, itu hanya sekadar penyesuaian dengan suatu pola yang diinginkan. Suatu perubahan yang dihasilkan melalui kehendak bukanlah perubahan sama sekali; itu hanya sekadar kelanjutan, dalam kerangka yang berbeda, dari apa yang sebelumnya ada. 

Jika saya berubah melalui sebuah motif–oleh karena ibu saya menyukainya, atau oleh karena masyarakat menghendaki saya melakukannya, atau oleh karena ada keuntungan tertentu di situ, dan sebagainya–perubahan itu adalah hasil bujukan, pengaruh, ganjaran; dengan demikian itu bukan sungguh-sungguh perubahan, melainkan hanya sekadar pelestarian yang dimodifikasi dari masa lampau. 

Nah, jika saya memahami seluruh proses baik perubahan melalui kehendak dan perubahan melalui motif, sehingga kedua proses ini mati dan tanpa daya upaya dikesampingkan, dari pemahaman itu muncullah perubahan yang tidak direncanakan lebih dulu, yang tidak dihasilkan melalui pengaruh atau melalui berbagai dorongan, paksaan; dan perubahan ini sesungguhnya adalah penghancuran total dari apa yang dikenal.

PENANYA: Perubahan yang Anda bicarakan tampaknya agak menipu. Jika saya berkata, "Saya ingin berubah," saya memiliki motif; jadi saya harus berubah tanpa keinginan berubah. Itu sama dengan ambisi: kita tidak bisa melenyapkan ambisi tanpa menginginkan untuk melenyapkannya. Jadi semua itu tidak lain hanyalah tipuan.

Pendidikan kita dari kanak-kanak dibangun di sekeliling ide untuk menjadi orang penting, mencapai sukses, dan sangat sedikit dari kita pernah belajar bagaimana mencintai apa yang kita kerjakan. 

Bila Anda mencintai apa yang Anda kerjakan, Anda bekerja tanpa motif, tanpa dorongan untuk sukses. Bila Anda mencintai seseorang, Anda tidak berpikir apa yang bisa Anda peroleh dari orang itu. 

Anda tidak mencintai orang itu oleh karena ia memberi Anda uang, atau kedudukan, atau suatu bentuk kepuasan lain. Anda harus mencinta–kalau cinta seperti itu ada. Nah, jika saya sungguh-sungguh mencintai apa yang saya kerjakan, di situ tidak ada ambisi. 

Maka saya tidak pernah membandingkan diri saya dengan orang lain, saya tidak pernah berkata bahwa orang lain melakukannya lebih baik atau lebih buruk daripada saya melakukannya. 

Saya mencintai pekerjaan saya, dengan demikian pikiran saya, hati saya, seluruh diri saya ada di dalamnya. Tetapi kita tidak dididik secara itu. 

Masyarakat menuntut sekian ilmuwan, sekian insinyur, sekian teknisi, entah apa lagi, dan kita didorong melalui pabrik yang disebut perguruan tinggi agar kita cocok dengan pola yang dituntut.

Sudahkan saya menjawab pertanyaan Anda, Pak?

***
KRISHNAMURTI: Pertama-tama, jika Anda seorang ayah atau pendidik, Anda perlu menyadari keterkondisian Anda sendiri, jelas. Tetapi bahkan di situ pun, bisakah Anda mencegah pengkondisian anak? Masyarakat menuntut mengondisikan anak. 

Pemerintah-pemerintah dengan propaganda mereka, agama-agama melembaga dengan dogma-dogma, kepercayaan dan norma-norma moralitas mereka, struktur psikologis dari apa yang kita namakan masyarakat–semua ini terus-menerus melanda, bukan hanya batin seorang anak, tetapi juga batin kita semua. 

Karena begitulah masyarakat modern, Anda tidak bisa menghindarkan anak Anda dari sekolah; dan sekolah tidak berminat membiarkan batin anak itu tak terkondisi; sebaliknya, sekolah menghendaki batinnya terkondisi menurut suatu pola tertentu. 

Jadi berlangsunglah suatu pertempuran antara keinginan orang tua yang cerdas untuk tidak mengkondisikan batin anak dengan tekad masyarakat untuk mengkondisikannya. 

Gereja ingin mendidik anak agar percaya kepada hal-hal tertentu; kaum Protestan, kaum Katolik, kaum Hindu dan semua agama-agama yang melembaga dan penuh propaganda tampil untuk mengkondisikan batin anak. 

Dan si anak ingin menyesuaikan diri, ia tidak mau berbeda, oleh karena jauh lebih menyenangkan ikut pramuka, atau apa pun, dan menjadi seperti anak-anak yang lain. Anda tahu semua ini dengan baik. Lalu apa yang akan Anda lakukan?

***
KRISHNAMURTI: Saya akan menjawab pertanyaan Anda, tapi saya harus berhenti dulu sebelum melakukannya. Begini, di sini saya bekerja, tapi sayangnya banyak di antara Anda tampaknya hanya mendengarkan saja. 

Jika Anda juga bekerja dengan intens, penuh semangat, dengan sukacita, seperti saya lakukan, maka otak Anda menjadi sedikit lelah pula, dan Anda tidak begitu bergairah untuk mengajukan pertanyaan.

Marilah saya coba menjelaskan secara lain. Ketika batin bebas dari apa yang dikenal, itu adalah batin yang baru, batin yang polos (innocent). Ia berada dalam suatu keadaan penciptaan (creation) yan g tak terukur, tak bernama, di luar waktu. 

Dan kita telah membahas dalam ceramah-ceramah ini, apa yang menghalangi kita dari memasuki keadaan itu secara alamiah, mudah, dan anggun. 

Keadaan itu tidak bisa didatangkan dengan sengaja, oleh karena batin yang kerdil tidak bisa mendatangkan apa yang mahaluas. 

Semua kekerdilan harus berakhir, lalu muncullah yang lain itu. Pikiran tak bisa membayangkan keadaan mahaluas itu. 

Dari kekerdilannya, dari kedangkalannya, ia hanya bisa memroyeksikan apa yang dikiranya indah; tetapi apa yang diproyeksikannya masih merupakan bagian dari keburukannya sendiri. 

Struktur psikologis masyarakat adalah apa adanya kita. Bila struktur itu dipahami dan terdapat kebebasan darinya, maka apa yang tak bernama, apa yang di situ tidak ada waktu, tidak ada kemajuan, muncul.

PENANYA: Bagaimana batin yang terkondisi bisa memahami apa yang benar?

KRISHNAMURTI: Tidak bisa. Mari kita buat sederhana saja. Misalkan saya seorang nasionalis, terikat pada negara saya, pada kedaulatan saya, terperangkap dalam identifikasi remeh dengan suatu ras tertentu. Bagaimana batin seperti itu memahami suatu keadaan yang sama sekali berada di luar semua itu? 

Tidak bisa., jadi batin harus memahami nasionalismenya sendiri, meruntuhkannya, menghancurkannya, mengesampingkannya sepenuhnya; dan bagi kebanyakan dari kita ini luar biasa sulitnya untuk dilakukan. 

Nasionalisme hanyalah sekadar perluasan dari diri kita sendiri yang kerdil. Anda mengidentifikasikan diri Anda dengan negara Anda oleh karena Anda kecil dan negara itu besar. 

Entitas suku ingin diidentifikasikan dengan sesuatu yang lebih besar–dan itulah yang kita semua lakukan. Anda mungkin tidak mengidentifikasikan diri Anda dengan negara Anda, tetapi Anda ingin bergabung dengan suatu tujuan atau tindakan yang luhur; Anda ingin diidentifikasikan dengan suatu ide, atau dengan Tuhan. 

Entah Anda berbakti kepada negara Anda, atau kepada keluarga Anda, atau menjadi rahib dan berbakti kepada Tuhan, semuanya persis sama, semua itu keterkondisian. 

Dan untuk meruntuhkan keterkondisian ini, seperti telah kita lihat, dibutuhkan suatu kesadaran/keelingan tanpa-memilih, mengamati setiap gerak-gerik pikiran–sekadar bermain-main dengan pikiran, mengamatinya.*
LihatTutupKomentar