21 Pepatah Jawa Tentang Kehidupan dan Artinya

Pepatah jawa, Kumpulan Pepatah Jawa Tentang Kehidupan dan Artinya, atau dapat juga di maknai sebagai nasehat bahasa jawa tentang kehidupan.
Pepatah Jawa Tentang Kehidupan dan Artinya

Tidak dulu tidak sekarang ternyata masih banyak orang yang mencari nasehat bahasa jawa tentang kehidupan. Maka dari itu, pitutur kembali merangkum tentang pepatah jawa, atau peribahasa jawa. Dibawah ini adalah artikel tentang Kumpulan 21 Pepatah Jawa Tentang Kehidupan dan Artinya. Semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kita tentang makna dan arti pepatah jawa ini.

Kumpulan 21 Pepatah Jawa Tentang Kehidupan dan Artinya

1. Ngandel Tali Gedebog

Serat gedebog (kulit pohon pisang) memang bisa digunakan sebagai tali untuk mengikat sesuatu. Namun tali yang terbuat dari gedebog tidaklah kuat dan tahan lama.

Pepatah atau peribahasa di atas secara harafiah berarti memercayai tali gedebog. Serat gedebog (kulit pohon pisang) memang bisa digunakan sebagai tali untuk mengikat sesuatu. Namun tali yang terbuat dari gedebog tidaklah kuat dan tahan lama. 

Oleh karena itu, memercayai tali gedebog sama saja artinya memercayai hal yang tidak dapat dipercaya atau memercayai pada sesuatu yang sesungguhnya secara faktual mengkhawatirkan.

Hal demikian sering terjadi di tengah masyarakat. Upamanya kita memercayai tokoh politik tertentu yang dalam pandangan banyak orang disebut sebagai baik dan benar. 

Namun dalam kenyataannya orang tersebut justru mengingkari, mengkhianati, dan melakukan segala macam tindakan kelicikan pada rakyat yang mempercayainya. Akhirnya rakyat kecewa karena dirugikan dari berbagai sisi.

2. Ngudia Amrih Ditiru Aja Mung Tiru-tiru

Pepatah ini ingin menekankan tentang pentingnya berpikir cerdas dan kreatif serta penuh inisiatif positif. Peniru atau pengambil gagasan atau ilmu orang lain tidak akan meningkatkan kualitas orang tersebut.

Pepatah atau peribahasa Jawa di atas secara harafiah berarti berusahalah supaya ditiru jangan hanya ikut-ikutan.

Berusaha untuk menjadi sesuatu entah apa pun itu akan menunjukkan jati diri seseorang. Sedangkan orang yang hanya senang atau bisa meniru tidak akan pernah menjadikan dirinya sebagai “sesuatu” yang lebih bernilai.

Menjadi sesuatu dapat dikatakan sebagai semacam inovator, pembawa gagasan baru, kreator yang menunjukkan mekarnya bakat dan talenta yang dimiliki atau menunjukkan tingkat kecerdasan dan orisinalitas berpikir. Bukan follower (pengekor), bukan pengambil ide atau gagasan serta pendapat orang lain, penjiplak, plagiat, pemalsu, dan sebagainya.

Pepatah ini ingin menekankan tentang pentingnya berpikir cerdas dan kreatif serta penuh inisiatif positif. Peniru atau pengambil gagasan atau ilmu orang lain tidak akan meningkatkan kualitas orang tersebut.

Orang yang menjadi peniru atau penjiplak mungkin juga menjadi orang yang berkualitas, namun kualitasnya berada di bawah orang yang ditiru atau pencetus gagasan. Dalam bahasa sekarang orang yang demikian mungkin dapat dikatakan sebagai KW 2, dan seterusnya.

3. Raine Abang Dluwang

Ungkapan raine abang dluwang menggambarkan atau menyimbolkan bahwa orang yang dimaksudkan wajahnya merah seperti kertas, padahal yang dimaksudkan adalah sebaliknya.

Dalam kehidupan masyarakat Jawa ada begitu banyak produk dan permainan simbol untuk mengungkapkan sesuatu. Simbol menjadi hal yang penting bagi masyarakat Jawa bahkan melekat dan menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. 

Simbol mengindikasikan ketidaklangsungan, ketidakterusterangan. Di dalamnya selalu tersimpan hal-hal tersembunyi yang harus dimengerti dengan sendirinya oleh orang yang menerima simbol.

Ketidakmampuan menangkap simbol sering dianggap sebagai sebuah kebodohan atau belum dewasa. Pengungkapan maksud secara harafiah pun sering dianggap sebagai sebuah kedangkalan. Oleh karenanya simbol menjadi semacam medan pertarungan makna yang harus dapat dicapai oleh pemberi dan penerima simbol.

Salah satu permainan simbol yang hingga saat ini terus hidup di dalam masyarakat Jawa misalnya sanepan. Sanepan berasal dari kata sanepa yang dalam pengertian luas setara maknanya dengan perumpaan atau semacam perbandingan. 

Akan tetapi perumpaan dalam sanepan bisa saja bermakna kebalikan. Artinya, makna yang dituliskan atau disampaikan berkebalikan atau bermakna berlawanan dari yang dimaksudkan.

Salah satu ungkapan yang bermakna demikian misalnya, raine abang dluwang. Ungkapan ini secara harafiah berarti wajahnya merah (seperti) kertas. Istilah dluwang yang berarti kertas itu mengacu pada pengertian kertas pada umumnya yang berwarna putih.

Ungkapan raine abang dluwang menggambarkan atau menyimbolkan bahwa orang yang dimaksudkan wajahnya merah seperti kertas, padahal yang dimaksudkan adalah sebaliknya. Artinya, orang tersebut wajahnya putih seperti kertas (jauh dari warna merah) atau pucat pasi.

4. Sing Bisa Njejegake Adil

Pepatah Jawa yang berbunyi “sing bisa njejegake adil” berlaku tidak saja untuk pemimpin atau penguasa namun juga bawahan atau orang awam pada umumnya.

Pepatah Jawa tersebut secara harafiah berarti yang bisa menegakkan keadilan.

Keadilan merupakan hal yang dikehendaki setiap orang. Bangsa Indonesia pun secara khusus meletakkan keadilan ini dalam salah satu sila dari Pancasila yang menjadi dasar negara. Ini menjadi petunjuk bahwa keadilan menjadi salah satu hal yang utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keadilan menjadi demikian penting sebagai bentuk pendistribusian segala sesuatu sesuai dengan kedudukan, porsi, tanggung jawab, status, pekerjaan, dan lain-lain yang kesemuanya diatur sesuai dengan peraturan, adat, konvensi, kesepakatan, dan lain-lain dimana orang yang bersangkutan hidup.

Jika keadilan tidak terdistribusi secara adil, merata, dan seimbang tentu saja akan muncul kesenjangan, ketimpangan, dan terganggunya rasa keadilan. Akibat dari keadaan itu akan menimbulkan rasa luka di hati orang yang keadilannya dilanggar atau terpinggirkan. 

Luka hati atau ketergangguan ini bukan semata-mata berhenti pada soal iri, cemburu, atau dalam bahasa Jawa disebut sebagai meri. Akan tetapi orang yang menerima akibat atau menjadi korban dari tidak ada atau tidak terpenuhinya keadilan itu akan merasa berat menerima dirinya dalam posisi yang demikian.

Ada cukup banyak kasus yang menimbulkan kericuhan gara-gara pelanggaran akan keadilan. Keadilan memang harus ditegakkan. Para pemimpin mempunyai tanggung jawab besar bagi penegakan keadilan. Jika pemimpin tidak bisa menegakkan keadilan dan berakibat pada ketimpangan keadilan yang terjadi pada sekian orang yang menjadi bawahannya, maka bawahan ini akan resah, gelisah, bahkan protes dan berontak.

Bukan hanya pimpinan yang semestinya menegakkan keadilan. Bawahan pun memiliki tanggung jawab akan hal ini. Bawahan yang justru menikmati akibat dari ketidakadilan namun menjadikanya beroleh keuntungan dan kenikmatan, yang mungkin disebabkan oleh ketidaktahuan, kelemahan, keteledoran, bahkan mungkin “kebaikan hati” pemimpin, sesungguhnya adalah orang yang juga menjadi agen atau penyelenggara dari ketidakadilan itu sendiri.

Dengan demikian, pepatah Jawa yang berbunyi sing bisa njejegake adil berlaku tidak saja untuk pemimpin atau penguasa namun juga bawahan atau orang awam pada umumnya.

5. Sing Unggul Dipanggul Sing Kalah Dijarah

Pepatah ini menggambarkan tentang sifat orang yang tidak punya pendirian kecuali berpikir atau berpendirian hanya untuk mencari enak, aman, untung, selamat dirinya saja. Di mana ada orang yang berkuasa atau unggul di bidang tertentu ia berusaha ikut di situ.

Pepatah atau peribahasa Jawa di atas secara harafiah berarti yang menang dijunjung yang kalah dijarah/dijajah.

Pepatah ini menggambarkan tentang sifat orang yang tidak punya pendirian kecuali berpikir atau berpendirian hanya untuk mencari enak, aman, untung, selamat dirinya saja. Di mana ada orang yang berkuasa atau unggul di bidang tertentu ia berusaha ikut di situ. Artinya, ia tidak peduli lagi apakah keunggulan, ketenaran, kekayaan, kekuasaan orang yang dijunjung-junjungnya itu ditempuh dengan cara yang benar, baik, dan jujur atau tidak.

Di lain pihak orang yang demikian itu akan menganiaya atau menjarah atau mengabaikan orang-orang yang kalah, lemah, tersingkir, dan tidak punya kedudukan dalam pergaulan sosial. Bagi orang yang berpendirian demikian, kekalahan adalah kenistaan, pahit, sengsara, dan tidak ada lagi guna apa pun. Pendeknya hal yang kalah dianggap sebagai sampah yang tidak berarti apa-apa.

Akan tetapi jika si kalah ini kelak di kemudian hari menang atau tenar, unggul, kaya, berkuasa, dan sebagainya, maka orang yang pernah menginjak-injak, menista, menjajah, menghina, mengabaikan, dan menjarahnya ini justru akan berbalik arah untuk bergabung dan berusaha menjunjung-junjung si kalah yang dulu dinistanya itu. Seolah-olah orang yang bersangkutan tidak pernah melakukan kesalahan, dosa, dan kejahatan atas si kalah.

Hal demikian itu barangkali bisa dilihat dengan politik yang pernah dilakukan VOC di Nusantara. Hampir semua yang menang, yang berkuasa, yang berpotensi berkuasa, yang bisa dimanfaatkan oleh VOC akan dirangkul VOC. 

Demikian pun yang berpotensi menjadi sekutu yang kuat bagi VOC akan didekati dan dijadikan wadyabala yang dapat memperkuat posisi VOC. Prinsipnya, VOC dan orang yang dicontohkan dalam peribahasa ini hanya mau berkawan pada yang menang, kuasa, kaya, tenar, berkedudukan, dan sebagainya karena menguntungkan dirinya. Orang oportunis, begitu sebutannya.

6. Sumur Sinaba

Sumur sinaba sesungguhnya ingin menggambarkan tentang orang yang selalu menjadi tujuan orang lain untuk diminta pertolongan. Artinya orang yang bersangkutan memang dipandang memiliki kelebihan, entah di bidang materi, kepandaian, kekuatan, dan sebagainya.

Pepatah Jawa tersebut secara harafiah berarti sumur (yang) didatangi/disambangi.

Sumur sinaba sesungguhnya ingin menggambarkan tentang orang yang selalu menjadi tujuan orang lain untuk diminta pertolongan. Artinya orang yang bersangkutan memang dipandang memiliki kelebihan, entah di bidang materi, kepandaian, kekuatan, dan sebagainya.

Sumur adalah sumber air. Sumur yang selalu didatangi orang (untuk mengambil/menimba air) adalah sumur yang memang berfungsi sebagai sumur yang baik, debit dan kualitas airnya baik. Artinya, sumur tersebut memang sungguh bermanfaat bagi kehidupan.

7. Tandange Kaya Sikatan Nyamber Walang

Pepatah tersebut untuk menggambarkan orang yang sangat terampil, gesit, atau cekatan dalam melakukan aktivitas atau kegiatan.

Pepatah Jawa tersebut secara harafiah berarti gerak/aktivitas/sepak terjangnya seperti (burung) sikatan menyambar belalang.

Sikatan adalah sejenis burung yang dulu umum terdapat di Jawa (dan mungkin di tempat lain). Burung Sikatan sering disebut juga Srikatan. Menurut beberapa sumber jenis burung Srikatan ini mencapai sekitar 47 jenis. Selain dikenal dengan nama Srikata/Sikatan burung jenis ini juga dikenal dengan nama Burung Kapasan atau white throated fantail.

Jenis burung ini dikenal sangat lincah dan aktif bergerak. Burung ini tangkas dan gesit sekali dalam menangkap mangsa yang umumnya berupa serangga berukuran kecil. Burung Sikatan di Jawa masa lalu umumnya sering ditemukan di kebun-kebun yang berdekatan dengan rumah penduduk atau di seputaran kandang sapi, kambing, atau kerbau. Di tempat-tempat semacam itu memang terdapat cukup banyak serangga.

Pepatah tersebut untuk menggambarkan orang yang sangat terampil, gesit, atau cekatan dalam melakukan aktivitas atau kegiatan. Penggambaran Sikatan nyamber walang umumnya dikenakan pada orang yang dengan sangat cepat melakukan tindakan atau aksi. Entah itu misalnya dalam dunia olahraga atau dalam kehidupan sehari-hari. 

Misalnya dalam suatu peristiwa tentang begitu cepatnya orang menangkap atau merebut sesuatu yang memang diperebutkan, misalnya dalam perebutan/rayahan gunungan.

Pepatah itu dapat juga diterapkan pada aktivitas negatif seperti misalnya ada pencopet yang sangat cepat melakukan aksi pencopetan. Bisa juga diterapkan pada orang yang melakukan korupsi begitu ada kesempatan. Begitu ada kesempatan orang tersebut langsung menyikat dana atau anggaran dengan suatu tindakan yang menurutnya tidak bisa diketahui oleh orang lain.

Berdasarkan penggunaan, pepatah tersebut bisa untuk menggambarkan aktivitas yang bersifat baik ataupun buruk.

8. Tata Titi Tatas Titis

Wejangan bahasa Jawa tersebut selaras dengan manajemen modern. Efisiensi, ketelitian, ketepatan waktu dan sasaran, pengawasan dan kontrol, serta pelaporan merupakan serangkaian pos-pos manajemen yang memang diperlukan dalam sistem kerja.

Pepatah atau peribahasa Kawa di atas secara harafiah berarti tertata/terencana, teliti/cermat, tuntas/sempurna/selesai/putus, tepat sasaran/jitu.

Peribahasa tersebut berkaitan erat dengan aktivitas hidup atau pekerjaan. Intinya ialah bahwa setiap aktivitas atau pekerjaan hendaknya dilakukan dengan terencana atau tertata. Selain tertata harus dikerjakan dengan teliti atau secermat mungkin. Pekerjaan juga harus diselesaikan dengan tuntas (paripurna) dan tentu saja harus tepat sasaran.

Wejangan bahasa Jawa tersebut selaras dengan manajemen modern. Efisiensi, ketelitian, ketepatan waktu dan sasaran, pengawasan dan kontrol, serta pelaporan merupakan serangkaian pos-pos manajemen yang memang diperlukan dalam sistem kerja. Tanpa itu semua pekerjaan akan amburadul, menghabiskan biaya dan waktu, tidak tepat sasaran, dan tidak bernilai guna.

9. Teka Katon Raine Lunga Katon Gegere

Pepatah ini secara lebih luas mengajarkan bahwa hendaknya orang bersikap ksatria, jujur, terbuka, sportif, dan bertanggung jawab. Atau tidak ada yang disembunyikan (khususnya untuk hal-hal yang bersifat buruk) di dalam dirinya.

Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti datang tampak muka (wajah) pergi tampak punggungnya.

Pepatah ini secara lebih luas mengajarkan bahwa hendaknya orang bersikap ksatria, jujur, terbuka, sportif, dan bertanggung jawab. Atau tidak ada yang disembunyikan (khususnya untuk hal-hal yang bersifat buruk) di dalam dirinya.

Jika orang datang ke suatu tempat (bertamu) ia harus menampakkan wajahnya. Jika ia tidak menampakkan wajahnya berarti dia memang menyembunyikan sesuatu di dalam dirinya. Umumnya sesuatu yang tidak ditampakkan itu memang bernuansa keburukan atau kenegatifan. Jika orang datang ke suatu tempat dengan menutupi wajahnya hal itu sama artinya bahwa dirinya tidak ingin diketahui. Ia sengaja menyembunyikan jati dirinya agar tidak dikenali.

Demikian pun jika orang tersebut meninggalkan suatu tempat yang baru saja dikunjungi, mestinya kepergiannya akan menampakkan punggungnya. Tidak tiba-tiba lenyap begitu saja tanpa ada orang lain yang tahu. Jika ia melakukan hal yang demikian, maka boleh diterka bahwa orang tersebut memang menyembunyikan sesuatu. Artinya ia tidak jujur dan terbuka. Kemungkinan besar ia memang memiliki maksud tertentu yang orang lain tidak boleh tahu.

Jujur, tanggung jawab, terbuka, adil, sportif memang menjadi nilai-nilai positif yang berlaku di mana saja.

10. Udan gemblong ing Omahe Wong Udan Gaplek ing Omahe Dhewe Meksa Isih Becik Omahe Dhewe

Pepatah ini dalam khasanah bahasa Indonesia mungkin sama artinya dengan “hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih baik hujan batu di negeri sendiri.”

Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti hujan juadah di rumah orang hujan gaplek di rumah sendiri masih lebih baik di rumah sendiri.

Gemblong atau juadah adalah jenis makanan yang lebih enak dan juga dianggap lebih “berkelas” dibandingkan gaplek yang cara mengolahnya memerlukan tahapan atau cara yang khusus serta hasil olahannya dianggap sebagai jenis makanan kelas bawah serta kurang sedap.

Pepatah tersebut menggambarkan bahwa sekalipun ada hujan gemblong atau juadah di rumah orang lain (tetangga), namun hujan gaplek di rumah sendiri dirsakan sebagai lebih nyaman, lebih nikmat, lebih merdeka atau bebas. Rumah orang lain tentu memiliki tata aturan kerumahtanggaannya sendiri. Bagaimanapun orang tidak bisa sebebas di rumah sendiri. Kebebasan atau kemerdekaan inilah yang tidak bisa dibeli, tidak bisa diukur dengan uang atau materi.

Pepatah ini dalam khasanah bahasa Indonesia mungkin sama artinya dengan “hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih baik hujan batu di negeri sendiri.” Intinya, enak dan senangnya hidup di negeri orang tetap jauh lebih enak dan senang hidup di negeri sendiri.

Negeri sendiri bagaimanapun telah menyatu dengan perasaan di hati. Situasi dan kondisinya telah demikian familiar. Komunitas dan pergaulannya telah terbentuk. Ketika semuanya itu tercabut, maka orang merasa dirinya seperti asing sekalipun mungkin secara material orang tersebut jauh lebih kaya dibandingkan ketika berada di negeri sendiri.

11. Wong Lanang Kemangi

Wong lanang kemangi dalam pepatah ini menggambarkan tentang pria yang tidak memiliki keberanian, lemah, penakut, dan tidak mandiri. Bisa dikatakan pria semacam ini hanya menggantungkan hidupnya pada orang lain.

Pepatah Jawa tersebut secara harafiah berarti pria kemangi.

Kemangi adalah salah satu jenis sayuran yang biasa digunakan untuk lalapan. Di samping itu juga biasa digunakan untuk bumbu pepes dan sebagainya. Jenis sayuran ini memiliki aroma harum yang kuat (menyengat).

Kemangi dalam keseluruhan dunia sayuran hampir selalu dijadikan pelengkap. Entah pelengkap bumbu, sayur, atau lalapan. Kemangi sangat jarang digunakan sebagai sayur yang mandiri atau tunggal.

Wong lanang kemangi dalam pepatah ini menggambarkan tentang pria yang tidak memiliki keberanian, lemah, penakut, dan tidak mandiri. Bisa dikatakan pria semacam ini hanya menggantungkan hidupnya pada orang lain. Baik bergantung pada soal pengetahuan, keberanian, materi, kedudukan sosial, dan sebagainya.

Lanang kemangi juga sering digunakan untuk menggambarkan pria yang berlaku seperti wanita (unsur feminitasnya lebih dominan) daripada unsur maskulinitasnya.

12. Ora Wuwur Ora Sembur

Sikap ora wuwur ora sembur mungkin disebabkan oleh karena kejengkelan yang sudah memuncak pada diri seseorang atas satu atau dua kasus. Kejengkelan yang memuncak ini akhirnya menimbulkan sikap tidak peduli lagi pada persoalan atau kasus yang sedang terjadi atau bahkan yang akan terjadi.

Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti tidak menabur/memberi tidak menyembur/menyemprot/menghembus.

Dalam khasanah kebudayaan Jawa istilah wuwur yang dalam bahasa lisan sering diucapkan “wur” saja sering diterapkan pada tindakan seperti menaburkan benih di sawah, ladang dan sebagainya. Wuwur mengacu pada pengertian memberikan sesuatu dengan cara ditaburkan. 

Pengertian ini dapat juga diterapkan pada tindakan seseorang yang menaburkan gula pasir di atas adonan, makanan, dan sebagainya. Tindakan menaburkan gula pasir di atas adonan ini dalam bahasa Jawa dapat juga dikatakan sebagai wuwur gula pasir ing roti, adonan, lan sanes-sanesipun (menabur(-kan) gula pasir di atas roti, adonan, dan lain-lainnya).

Istilah “sembur” dapat diterapkan pada perilaku ular yang menyemburkan bisa (racun). Dapat juga istilah sembur itu dikenakan pada kejadian air yang keluar tiba-tiba dari dalam lubang, selang, pipa, dan seterusnya. Namun pengertian sembur juga sering diterapkan pada perilaku orang tua (lebih sering pada dukun atau juru penyembuh) yang menyemburkan air atau ramuan rempah (jamu-jamuan) dari dalam mulut ke badan (bisa juga kepala) anak/pasien.

Secara konotatif pepatah Ora Wuwur Ora Sembur mengacu pada pengertian tidak memberikan sesuatu (benda/harta) dan tidak memberikan nasihat, petunjuk, saran, kritik, atau tidak memberikan pembicaraan apa pun. 

Jadi pepatah Ora Wuwur Ora Sembur sama artinya dengan tidak berurusan atau tidak mau berurusan dengan segala macam persoalan yang sedang terjadi. Pendeknya tidak mau terlibat apa pun dalam segala macam persoalan baik secara material maupun pembicaraan.

Sikap ora wuwur ora sembur mungkin disebabkan oleh karena kejengkelan yang sudah memuncak pada diri seseorang atas satu atau dua kasus. Kejengkelan yang memuncak ini akhirnya menimbulkan sikap tidak peduli lagi pada persoalan atau kasus yang sedang terjadi atau bahkan yang akan terjadi.

13. Abot Sing Nandhang Tinimbang Sing Nyawang

Orang yang menjalani atau tertimpa sesuatu (tanggung jawab/bencana) memang merasa lebih berat, sengsara, ribet, dan sebagainya dibandingkan dengan orang yang melihat atau menonton.

Pepatah Jawa ini secara harafiah berarti berat yang menjalani (terkena: tanggung jawab, bencana, dan sebagainya) dibanding yang melihat (menonton).

Orang yang menjalani atau tertimpa sesuatu (tanggung jawab/bencana) memang merasa lebih berat, sengsara, ribet, dan sebagainya dibandingkan dengan orang yang melihat atau menonton.

Orang yang melihat umumnya hanya menduga-duga tentang apa yang dirasakan oleh orang yang yang dilihatnya. Sementara orang yang menjalani atau tertimpa sesuatu akan merasakan betapa berat dan tidak mudah. 

Orang yang melihat, yang memang tidak mengalami sendiri akan hal yang dilihatnya, umumnya secara riil memang belum punya gambaran atau referensi tentang seberapa dalam dan jauhnya derita atau tanggung jawab yang harus dipikul orang yang dilihatnya.

14. Angon Mangsa

Pepatah Jawa di atas secara luas sebenarnya ingin menyatakan tentang perlunya orang untuk memperhitungkan suasana dalam melakukan tindakan atau kegiatan yang baik dan tepat.

Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti menggembala(-kan)/melihat/mengamati/membaca musim.

Menggembalakan musim sama dengan mengamati musim. Hal demikian biasa dilakukan oleh petani maupun nelayan. Petani dalam menanam akan selalu mempertimbangkan musim. Sebab jika pertimbangan atau pilihan musimnya tidak tepat, maka tanaman yang ditanamnya tidak akan menghasilkan apa-apa (gagal panen). 

Hal yang sama juga dilakukan oleh nelayan untuk mengetahui arah angin, arus laut, maupun migrasi ikan.

Dengan “membaca” musim baik nelayan, petani, maupun orang pada umumnya akan dapat mengambil tindakan yang baik, benar, atau tepat untuk melakukan sesuatu (bertani, menangkap ikan, bepergian, dan sebagainya).

Pepatah Jawa di atas secara luas sebenarnya ingin menyatakan tentang perlunya orang untuk memperhitungkan suasana dalam melakukan tindakan atau kegiatan yang baik dan tepat. Sebab jika orang tidak memperhatikan segala sesuatunya sesuai keadaan, maka orang tersebut tidak dapat mengambil tindakan yang baik dan tepat yang berakibat pada kegagalan atau kekecawaan bahkan bencana.

15. Asor Kilang Munggwing Gelas

Peribahasa ataupun pepatah Jawa di atas secara harfiah bermakna rendah/ kurang baik kilang( rebusan air nira/ air perasan tebu) pada gelas (di dalam gelas).

Kilang semacam arti di atas merupakan air yang berasa manis. Kilang merupakan cikal bakal ataupun bahan utama buat membuat gula. Gelas semacam yang sudah dikenal universal merupakan perlengkapan buat meminum air. 

Gula ataupun kilang yang manis itu jadi sangat sesuai bila ditaruh di dalam gelas sebab gelas biasanya memanglah digunakan buat menampung air yang berasa manis( teh, kopi, serta lain- lain) yang setelah itu disuguhkan buat tamu. 

Jadi, pendamping kilang serta gelas merupakan suatu yang pas ataupun cocok, lebih- lebih dalam perihal ini permasalahan tersebut berhubungan dengan dunia perhubungan antara tamu serta tuan rumah.

Pepatah asor kilang munggwing gelas sebetulnya mau menggambarkan tentang manisnya tutur kata seorang( semacam manisnya kilang) yang setelah itu sangat berkenan pada orang lain( semacam kilang dimasukkan gelas). 

Orang yang menerima tutur kata yang manis biasanya memanglah hendak bahagia ataupun berkenan hatinya. Tutur kata yang manis tidak hendak menyakiti hati orang lain. Menimbulkan orang lain bahagia, tersanjung, serta merasa dihormati. 

Sepanjang perihal itu dicoba dengan kemurnian ataupun ketulusan perihal tersebut jadi pas. Hendak namun tutur kata yang manis yang setelah itu dicoba buat menipu ataupun penuh kepura- puraan serta palsu, perihal demikian tidak sesuai dengan peribasa tersebut di atas.

Sebutan ataupun kata” asor” di atas sesungguhnya berarti ataupun bermakna kebalikannya. Kata asor ini tidak hanya digunakan buat memaknai perihal yang hendaknya pula digunakan buat membagikan arti yang lebih mendalam. Jadi, makna sebetulnya ataupun perihal yang dimaksudkan merupakan sangat baik( sesuai) kilang munggwing gelas.

16. Blaba Wuda

Pepatah blaba wuda mengacu pada pengertian atau gambaran tentang orang yang sangat dermawan dan oleh karena kedermawanannya itu orang yang bersangkutan justru kehabisan harta miliknya.

Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti dermawan telanjang.

Istilah blaba dapat dimaknai sebagai sifat yang sangat dermawan yang dimiliki seseorang. Sikap dermawan dalam pengertian blaba ini cenderung tanpa perhitungan (entah karena mudah bersimpati atau berempati, entah karena dirinya merasa bahagia kalau dapat memberikan miliknya pada orang lain). Sedangkan istilah wuda sama artinya dengan telanjang, tertelanjangi, atau bertelanjang.

Pepatah blaba wuda mengacu pada pengertian atau gambaran tentang orang yang sangat dermawan dan oleh karena kedermawanannya itu orang yang bersangkutan justru kehabisan harta miliknya. Hal demikian secara sederhana dapat digambarkan misalnya ada orang yang membagi satu potong roti untuk beberapa temannya. Ketika roti dipotong-potong dan dibagikan kepada teman-temannya, ia sendiri justru tidak mendapatkan bagiannya.

17. Blilu Tau Pinter Durung Nglakoni

Bahwa orang yang bodoh tetapi pernah melakukan atau mengalami akan jauh lebih pintar daripada orang pintar yang belum pernah mengalami, mencoba, atau berpraktik.

Pepatah atau peribahasa Jawa di atas secara harafiah berarti bodoh (tetapi) pernah pintar (tetapi) belum pernah menjalankan atau mengalami.

Secara lebih luas pepatah itu dapat dideskripsikan kurang lebih sebagai berikut. Bahwa orang yang bodoh tetapi pernah melakukan atau mengalami akan jauh lebih pintar daripada orang pintar yang belum pernah mengalami, mencoba, atau berpraktik.

Pepatah ini ingin menyatakan bahwa orang yang tidak berpendidikan atau bisa dikatakan bodoh, tidak bersertifikat, atau berijazah sering dianggap tidak berkemampuan. Padahal kenyataannya orang yang tidak berijazah itu mungkin saja telah menjalani atau menangani berbagai pekerjaan atau persoalan dan semuanya dapat diselesaikannya dengan baik. 

Pada sisi ini orang tersebut dapat dikatakan telah berpengalaman sekalipun ia tidak berbekalkan teori dari bangku akademik yang notabene dianggap sebagai wilayah intelektual (pintar).

Sebaliknya, orang yang merasa diri pintar pada kenyataannya sering tidak mampu menangani berbagai pekerjaan atau persoalan karena dirinya pada senyatanya memang tidak memiliki pengalaman untuk itu.

Oleh karena itu orang yang dianggap blilu atau bodoh tersebut pada kenyataannya lebih berkemampuan karena ia telah pernah mengalami atau menangani persoalan atau pekerjaan. Sementara orang pintar tersebut kelihatan bodoh karena ia belum pernah punya pengalaman seperti yang dialami orang yang dianggap bodoh (blilu).

18. Budi Dayaning Manungsa Ora Bisa Ngungkuli Garise Sing Kuwasa

Peribahasa Jawa di atas secara harafiah berarti budi daya manusia tidak bisa melampaui takdir Hyang Maha Kuwasa.

Pepatah ini sebenarnya ingin mengingatkan orang/manusia agar bisa menerima segala macam takdir atau nasib yang sedang menimpa dirinya. Orang atau manusia memang diwenangkan untuk berusaha untuk mencapai cita-citanya. Akan tetapi tidak setiap cita-cita atau keinginan manusia bisa diraih. Pada sisi ini orang diharapkan mendasarkan hidupnya agar semakin selaras dengan kehendak Sang Khalik.

Ada banyak contoh kasus dari usaha atau upaya manusia yang secara hitung-hitungan di atas kertas dipastikan berhasil atau sukses, namun pada akhirnya menemui kegagalan. Cerita kuno mengenai pembangunan Menara Babel merupakan salah satunya. 

Kasus meledaknya pesawat Challenger juga merupakan salah satu kasus yang lain. Demikian pula dengan tenggelamnya kapal Titanic. Sepintar-pintar manusia, sehebat-hebat manusia ia hanyalah makhluk ciptaan Tuhan yang harus mengerti bahwa di luar dirinya ada kekuatan maha kuat yang tidak mungkin bisa ditandingi manusia.

19. Darmaning Satriya Mahanani Rahayuning Negara

Pepatah Jawa ini menjadi sungguh sangat relevan untuk saat ini, ketika sifat satria itu kian sulit ditemukan dalam penyelenggaraan negara.

Pepatah atau nasihat Jawa di atas secara harafiah berarti darma/bakti/kinerja/sumbangsih satriya (satria) menyebabkan/membuat selamat negara.

Satria dalam khasanah kebudayaan Jawa adalah pahlawan (hero), bahkan cenderung diangap sebagai semacam superman. Oleh karena itu secara ideal ia adalah sosok yang sangat penting untuk membantu penyelenggaraan kehidupan negara atau masyarakat. Satria menjadi sosok yang dianggap paling bertanggung jawab dalam menjaga keberlangsungan hidup negara.

Selain itu satria juga diartikan bukan sebagai sosok fisik atau orang saja, namun juga menjadi sifat. Sifat satria selalu diartikan sebagai baik, benar, suci, jujur, bertanggung jawab, mempunyai integritas, terbuka, siap menolong yang lemah dan tertindas, dan seterusnya.

Oleh karena itu darma satria hendaknya memang menjadi unsur yang paling penting demi penyelenggaraan kehidupan negara (pemerintahan) dan masyarakat secara baik dan benar. Jika darma satria melenceng, maka kehidupan negara juga akan melenceng. Artinya, keselamatan, kesejahteraan, keamanan, kenyamanan, keadilan negara sangat ditentukan oleh darma satria atau orang-orang yang teguh menjalani kinerja dan perwatakan yang satria atau menyatria.

Orang harus mau menjalankan perwatakan satria bukan saja untuk kehidupan negara dan masyarakat yang baik dan benar, namun juga untuk kehidupan pribadinya secara baik, benar, bertanggung jawab, jujur, dan adil.

Pepatah Jawa ini menjadi sungguh sangat relevan untuk saat ini, ketika sifat satria itu kian sulit ditemukan dalam penyelenggaraan negara.

20. Janma Tan Kena Ingina

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti manusia tidak bisa (boleh) dihina.

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia dan juga paling sempurna dibandingkan semua makhluk yang ada di dunia ini. Oleh karena itu manusia tidak boleh dihina oleh manusia lainnya. Hal demikian selain didasarkan pada alasan di atas juga dikarenakan manusia selalu memiliki banyak kemungkinan. 

Selalu memiliki banyak hal-hal yang tidak bisa diduga oleh manusia lain atau oleh dirinya sendiri. Kemungkinan-kemungkinan tersebut merupakan rahasia atau misteri yang tidak bisa diungkapkan oleh manusia itu sendiri. Misteri itu hanya ada di dalam kuasa Sang Pencipta.

Oleh karena itu jika ada orang menderita, maka orang lain hendaknya jangan menghinanya. Jika ada orang jatuh janganlah orang lain menertawakan atau menyorakinya. Jika ada orang bodoh janganlah mengejeknya. 

Apabila ada orang cacat, miskin, tersingkir janganlah direndahkan. Sebab orang-orang yang demikian itu bisa saja oleh karena kemurahan Tuhan kemudian menjadi berkelebihan dalam segalanya. Orang yang menghina atau merendahkan orang lain bisa saja kemudian ia sendiri, orang tua, saudara, keturunannya jatuh atau menderita.

21. Janma Tan Kena Kinira

Kasus-kasus brutal dan super sadis semacam Jack The Ripper, pembantaian Yahudi oleh Hitler, Pol Pot, dan jenis-jenis kejahatan manusia yang lain, juga merupakan salah satu contoh betapa hati manusia tidak bisa diduga. Hal-hal demikianlah yang dalam khasanah budaya Jawa dikatakan sebagai janma tan kena kinira

Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti manusia tidak bisa diperkirakan/diduga. Pepatah ini mungkin sama artinya dengan pepatah dalam bahasa Indonesia yang berbunyi dalam laut dapat diduga dalam hati siapa yang tahu.

Manusia pada intinya memang menjadi makhluk yang paling cerdas di antara semua makhluk ciptaan Tuhan. Otak dan hati manusia tidak bisa diduga oleh manusia lainnya. Adanya komputer, mobil, pesawat, kapal selam, bom atom, dan lain-lain mungkin hanya merupakan contoh kecil dari seberapa rumit dan hebatnya isi otak manusia sehingga bisa membuat sesuatu yang luar biasa. Dari yang semula hanya ada dalam keinginan dan impian kemudian terwujud nyata.

Kasus-kasus brutal dan super sadis semacam Jack The Ripper, pembantaian Yahudi oleh Hitler, Pol Pot, dan jenis-jenis kejahatan manusia yang lain, juga merupakan salah satu contoh betapa hati manusia tidak bisa diduga. Hal-hal demikianlah yang dalam khasanah budaya Jawa dikatakan sebagai janma tan kena kinira.

Barangkali juga ada orang yang kenampakan luarnya kelihatan bersih dan baik, namun di dalam hatinya mungkin saja ada bara kejahatan dan keculasan yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan korban bagi orang lain. Contoh lain lagi misalnya ada orang yang tampaknya bodoh, namun sesungguhnya ia memiliki kecerdasan atau kemampuan yang luar biasa.

Mungkin saja ada orang berpenampilan serba mewah dan gaya namun sesungguhnya di rumah ia tidak memiliki apa-apa. Barangkali juga ada orang yang berpenampilan sederhana namun di rumah ia memiliki harta berlimpah.

Contoh lain misalnya, ada orang yang berpenampilan apa adanya namun ternyata hatinya penuh kelembutan dan cinta kepada sesama.

LihatTutupKomentar