5 Pepatah Jawa Tentang Kehidupan dan Artinya

Rangkuman pepatah jawa, paribasan, nasehat jawa, peribahasa jawa, di sebut juga sanepan selengkapnya. Silahkan di baca.
Pepatah Jawa

Paribasan (dalam bahasa jawa) atau Pepatah (peribahasa indonesia) sebenarnya banyak mengandung teka-teki serta makna yang dalam. Oleh sebab itu banyak pakar dalam ataupun luar yang ingin mengurai ataupun memaknai peribahasa jawa tersebut. 

Tidak hanya pitutur, nasehat ataupun petuah yang sebagaimana terkandung di dalam kata-kata pepatah jawa atau Peribahasa jawa ini, namun juga terdapat banyak hal yang menyangkut baik tentang pendidikan, pelajaran, motivasi, kehidupan, dan masih banyak lagi yang lainya.

Karena itulah pepatah jawa menjadi sangat populer dari sejak dahulu hingga sekarang ini. Bagaimana tidak, banyak sekali para pakar sastrawan di indonesia yang mengupas tentang pepatah jawa ini. Dan bukan hanya orang indonesia saja, bahkan sampai ke negara-negara eropa pepatah jawa ini terkenal.

Mengapa, mereka sangat ingin sebenarnya mengungkap dan mengetahui apa sebenarnya arti dan makna sesungguhnya dari kata-kata pepatah jawa tersebut. Maka dari itu, kita sebagai bangsa Indonesia, (suku jawa) patut bangga dengan budaya kita, dan harus bisa menjaga warisan nenek moyang kita. 

Di bawah ini adalah serangkaian 5 pepatah jawa tentang kehidupan dan artinya, yang pitutur himpun, semoga bermanfaat.

1. Pepatah Jawa Mbedhah Negara Mboyong Putri

Pepatah Jawa

Dalam konteks sekarang mungkin dapat juga dilihat pada negara atau bangsa yang hidupnya hanya didikte oleh bangsa atau negara lain. Atau negara yang tak berkutik ketika warganya dianiaya oleh negara lain karena merasa tergantung secara ekonomi dengan negara penganiaya.

Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti membedah negara memboyong putri (wanita).

Pepatah Jawa ini secara umum sering digunakan atau diucapkan oleh para raja atau penguasa Jawa di masa lampau. Pepatah ini menjadi penyemangat atau bahkan pegangan bagi suatu kerajaan untuk menaklukkan kerajaan lain. Hal itu dilakukan untuk memperluas wilayah, menunjukkan kejayaan, menunjukkan superioritas (supremasi), mencapai kemakmuran yang lebih luas, memperkuat diri, dan sebagainya.

Jika ada sebuah kerajaan atau negara mampu menaklukkan kerajaan lain dan memboyong putri-putri milik kerajaan tersebut, maka kerajaan yang bersangkutan akan dianggap atau diakui sebagai kerajaan yang superior, disegani, bahkan ditakuti.

Putri-putri milik suatu kerajaan di samping menjadi lambang kemewahan dan kekayaan kerajaan, juga menjadi lambang kehormatan bagi kerajaan yang bersangkutan. Jika putri-putri milik mereka berhasil diboyong oleh kerajaan lain, maka sebenarnya secara simbolik maupun faktual, kehormatan dari kerajaan tersebut telah ikut diboyong atau berpindah pada kerajaan lain.

Mbedhah negara mboyong putri di masa lampau bukan semata-mata diartikan sebagai penaklukan atas sebuah wilayah, perampasan kekayaan dan kedaulatan, namun sekaligus penyitaan akan kehormatan dari wilayah yang ditaklukkan.

Dalam konteks sekarang mungkin dapat juga dilihat pada negara atau bangsa yang hidupnya hanya didikte oleh bangsa atau negara lain. Atau negara yang tak berkutik ketika warganya dianiaya oleh negara lain karena merasa tergantung secara ekonomi dengan negara penganiaya. Kelihatannya merdeka tetapi tidak berdaya apa-apa dalam segala macam hal.

2. Pepatah Jawa Suwe Kaya Banyu Sinaring

Pepatah suwe banyu sinaring sebenarnya ingin menggambarkan tentang suatu kejadian atau kegiatan yang terjadi sedemikian cepat.

Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti lama seperti air disaring.

Air yang disaring tentu saja akan tembus atau meluncur pada alat penyaringnya dengan sangat cepat. Air yang memang berbentuk cair akan dapat merembes atau menembus lubang atau pori-pori yang sangat kecil sekalipun. Kecepatan perembesan air semacam itu bisa dikatakan hanya akan terjadi beberapa detik atau bahkan sepersekian detik.

Pepatah suwe banyu sinaring sebenarnya ingin menggambarkan tentang suatu kejadian atau kegiatan yang terjadi sedemikian cepat. Kata suwe dalam pepatah tersebut hanya untuk menekankan makna berkebalikan dari air yang disaring (banyu sinaring).

3. Pepatah Jawa Wedi Rai Wani Silit

Pepatah Jawa Tentang Kehidupan dan Artinya

Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti takut muka berani dubur.

Pepatah ini sebenarnya ingin menggambarkan tentang perilaku atau watak orang yang takut berhadapan muka dengan orang yang berpersoalan dengan dirinya. Orang yang bersangkutan hanya berani di belakang atau di tempat yang tersembunyi (yang disimbolkan dengan silit/dubur). 

Pepatah ini secara lebih luas ingin menyatakan tentang orang yang tidak jantan, tidak terbuka, tidak jujur, tidak tegas, takut, dan hanya berani melakukan sesuatu melalui pintu belakang. Secara lugas sebenarnya pepatah ini ingin menyatakan tentang orang yang berperilaku sebagai pengecut.

4. Pepatah Jawa Kraket ing Galar

Intinya, ia tidak punya apa-apa, tidak punya kegiatan apa-apa selain menunggu hari-harinya di balai-balai sehingga digambarkan bahwa orang tersebut seperti kraket ing galar (melekat di balai-balai).

Pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti melekat di balai-balai (dipan/tempat duduk sederhana yang terbuat dari bambu).

Secara luas pepatah ini ingin menyatakan tentang kondisi seseorang yang sangat melarat sehingga tubuhnya hanya melekat di balai-balai. Selain balai-balai atau tempat tidur yang terbuat dari bambu, ia tidak punya apa-apa lagi. 

Selain duduk atau tiduran di balai-balai orang tersebut tidak punya pekerjaan atau kegiatan apa-apa. Intinya, ia tidak punya apa-apa, tidak punya kegiatan apa-apa selain menunggu hari-harinya di balai-balai sehingga digambarkan bahwa orang tersebut seperti kraket ing galar (melekat di balai-balai).

5. Pepatah Jawa Ngangsu Banyu ing Kranjang

Pepatah ini sebenarnya bertujuan menggambarkan orang yang berguru (sekolah/kursus), namun setelah selesai berguru ilmu yang didapatkan tidak digunakan sehingga ilmu tersebut “hilang” atau terlupakan.

Pepatah Jawa di atas secara harafiah bermakna mencari (menimba) air di (dengan) keranjang.

Umumnya orang yang mengambil atau menimba air di sumur dilakukan dengan ember sebab ember tidak tembus air. Seumpama menimba air dengan menggunakan keranjang tentu saja airnya akan segera merembes atau bocor keluar. 

Seperti diketahui, keranjang adalah wadah yang terbuat dari anyaman bambu, sejenis tali, dan sebagainya. Oleh sebab itu, keranjang memiliki pori-pori atau lubang yang cukup besar besar. Dengan demikian air tidak dapat diwadahi oleh alat yang bernama keranjang.

Pepatah ini sebenarnya bertujuan menggambarkan orang yang berguru (sekolah/kursus), namun setelah selesai berguru ilmu yang didapatkan tidak digunakan sehingga ilmu tersebut “hilang” atau terlupakan. Sumur sebagai sumber air dalam pepatah ini diibaratkan sebagai guru (sumber ilmu). Orang yang menimba adalah murid itu sendiri. Sementara keranjang yang digunakan untuk menimba air adalah memori/daya serap atau otak dan hati si siswa.

Artikel terkait:

LihatTutupKomentar