Gugon Tuhon Peribahasa Jawa dan Artinya

Gugon tuhon yaiku lebih mengarah kepercayaan akan sesuatu yang tidak berdasarkan logika dan olahan akal budi. Kepercayaan yang dipercaya begitu saja.
gugon tuhon yaiku

“Paribasan” atau dalam bahasa indonesia berarti Pepatah, ungkapan, atau peribahasa, sudah tidak asing lagi serta menjadi ciri khas khususnya bagi masyarakat jawa.

Paribasan, tidak hanya sekedar kata, kalimat ataupun ungkapan. Di dalam kalimat bahasa jawa tersebut terdapat filosofi serta gambaran tentang kehidupan. Dan tidak hanya itu saja, didalam peribahasa jawa yang bisa di katakan pesan singkat ini, ternyata mampu menampung arti dan makna yang dalam.

Berikut ini adalah contoh peribahasa Jawa serta kalimat bahasa jawa dan artinya, versi pitutur.

Peribahasa Jawa Gugon Tuhon 

Gugon tuhon yaiku lebih menggambarkan kepercayaan akan sesuatu yang tidak berdasarkan logika dan olahan akal budi. Kepercayaan yang dipercaya begitu saja tanpa memahami benar dalil-dalilnya.

Pepatah, ungkapan, atau peribahasa Jawa “gugon tuhon” secara harafiah berarti percaya (sesuatu), taat/menuruti (sesuatu).

Gugon tuhon umumnya masih sering dipegang atau menjadi pedoman bagi orang-orang yang tidak atau kurang mengerti dasar penalaran atau logika dari suatu fenomena, gejala, peristiwa yang dialami atau dilihatnya.

Sebagai satu contoh jenis gugon tuhon: ada orang naik kendaraan kemudian ada ular melintas di depan kendaraannya itu, maka orang yang bersangkutan lantas percaya begitu saja bahwa dirinya akan mendapatkan rintangan atau halangan. 

Hal demikian tentu tidak bisa dinalar atau dicerna akal. Bagaimana hubungan akan datangnya kecelakaan dan perihal ular melintas di jalan tersebut, apakah hal itu bisa dijelaskan?

Jenis Gugon tuhon lain misalnya, ada orang lahir hari tertentu, jam tertentu, bulan dan tahun tertentu, maka nasib orang tersebut kemudian diramalkan bahwa kelak ia akan begini atau begitu. Apakah nasib hidup dan perjalanan hidup manusia ditentukan oleh hitung-hitungan atau othak-athik yang dilakukan manusia atas manusia? 

Hal macam ini sulit diterima nalar dan tidak jarang menjurus pada tahayul yang akhirnya mengabaikan peran Tuhan dalam laku hidup manusia. Orang tidak lagi menyandarkan dirinya pada ajaran dan kehendak Tuhan, melainkan berdasarkan hitung-hitungan yang dibuat manusia belaka.

Gugon tuhon adalah lebih menggambarkan kepercayaan akan sesuatu yang tidak berdasarkan logika dan olahan akal budi. Kepercayaan yang dipercaya begitu saja tanpa memahami benar dalil-dalilnya. Aneka ramalan, tanda-tanda tertentu, gejala alam tertentu yang dikaitkan dengan bakal terjadinya sesuatu (gaib) sering berkaitan dengan gugon tuhon ini.


gugon tuhon yaiku

Peribahasa Jawa Endhek Wiwitane Dhuwur Wekasane

Peribahasa Jawa di atas secara harafiah berarti rendah permulaannya tinggi (pada) akhirnya. Hal ini bisa dicontohkan misalnya dengan pertumbuhan tanaman. Semua tanaman berawal dari biji, anakan, cangkokan, atau stekan. Semuanya itu masih berupa anakan atau cikal bakal pohon. Dalam pertumbuhannya semua tanaman itu kemudian akan meninggi dan membesar.

Demikian pun dalam kehidupan sehari-hari, orang dapat saja secara sosial dianggap berkedudukan rendah, tapi bisa jadi juga dalam perjalanan hidupnya ia kemudian berkedudukan tinggi. Ada banyak contoh kasus dimana orang yang dianggap kecil dan rendah pada akhirnya bisa memiliki kedudukan yang tinggi, kaya, dan dihormati karena kelebihan yang berkembang di dalam dirinya.

Oleh karena itu, pepatah ini menyarankan orang untuk bersikap optimistik dalam menjalani kehidupan. Tidak ada kehidupan yang bersifat instan. Semuanya membutuhkan proses. Semuanya dimulai dari sedikit, dari hal yang sederhana dan biasa, tidak tiba-tiba.

Selain itu, peribahasa atau pepatah ini juga menyarankan tentang penghargaan atas hal-hal yang kecil, yang terabaikan, dan mungkin juga terlupakan. Hal yang kecil dan sederhana saat ini belum tentu kecil dan sederhana pula di hari depan. Orang yang berkedudukan rendah, miskin, dan terabaikan belum tentu di hari depan ia tetap akan seperti itu.

gugon tuhon yaiku

Peribahasa Jawa Aja Amung Kridha Lumahing Asta

Meminta-minta atau mengemis dalam hal ini tidak harus diartikan sebagai lakuan atau tindakan seperti yang dilakukan oleh para pengemis secara wantah, namun bisa berarti bermacam-macam.

Peribahasa atau pepatah Jawa di atas secara harafiah berarti jangan hanya suka menadahkan tangan (meminta-minta/mengemis).

Meminta-minta atau mengemis dalam hal ini tidak harus diartikan sebagai lakuan atau tindakan seperti yang dilakukan oleh para pengemis secara wantah, namun bisa berarti bermacam-macam. Contohnya, orang yang tidak mau atau malas bekerja namun meminta upah sama dengan orang yang lebih rajin dan lebih produktif dalam bekerja sama artinya dengan pengemis.

Orang yang tidak bekerja sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab namun menerima upah rutin bulanan pada hakikatnya sama dengan pengemis karena ia sesungguhnya menerima gaji buta. Orang yang tidak mau bekerja keras, mandiri, dan hanya menjual iba kepada orang lain dengan tujuan mendapatkan bantuan pada hakikatnya sama juga dengan pengemis.

Dalam khasanah kebudayaan Jawa (Nusantara) masa lalu watak atau lakuan mengemis secara wantah maupun tersamar dan bahkan simbolik dianggap sebagai lakuan yang hina dan tidak bermartabat alias memalukan.

Mengemis selalu mengandung makna malas bekerja, mau enaknya saja, mudah menyerah, tidak mau berusaha keras, mau cari enaknya saja, terlalu mengasihani diri sendiri, serta mengabaikan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan yang diberi aneka berkat (talenta, kemampuan, hidup, dan sebagainya).

Peribahasa Jawa Cablek-Cablek Lemut

Dari sekian abdi/pembantu, abdi yang bertugas cablek-cablek lemut umumnya adalah orang yang memang tidak memiliki kemampuan khusus yang bisa ditonjolkan/dipersembahkan untuk raja/ratu/majikan.

Pepatah atau peribahasa Jawa di atas secara harafiah berarti tepuk-tepuk nyamuk atau membunuh nyamuk dengan kedua telapak tangan ditepukkan.

Dalam kehidupan para bangsawan atau raja-raja di masa lalu umumnya mereka memiliki cukup banyak abdi dalem (pembantu, hulu balang, dayang-dayang, dan sebagainya). Dari sekian banyak abdi atau pembantu itu ada abdi-abdi khusus yang ditugaskan untuk menjaga dan menemani sang raja/ratu dalam peraduannya. 

Mereka ada yang ditugaskan untuk nembang (menyanyi), mendongeng, memijat, mengipasi, dan cablek-cablek lemut.

Dari sekian abdi/pembantu, abdi yang bertugas cablek-cablek lemut umumnya adalah orang yang memang tidak memiliki kemampuan khusus yang bisa ditonjolkan/dipersembahkan untuk raja/ratu/majikan. 

Disuruh nembang ia tidak bisa, disuruh mengipasi tangannya tidak kuat dan tidak terampil, disuruh mendongeng pun referensi dongengnya tidak ada. Pendek kata ia tidak memiliki kemampuan apa-apa. Untuk itulah ia dipekerjakan hanya untuk mengusir atau membunuh nyamuk saat ratu/raja/ tuan berada di peraduan.

Kemampuan mengusir (cablek-cablek) nyamuk dapat dilakukan oleh semua orang sejauh orang tersebut normal fisik dan jiwanya. Kemampuan semacam ini tidak memerlukan pendidikan khusus atau bahkan kursus. Artinya, kemampuan semacam ini tidak membutuhkan kecerdasan apa pun.
LihatTutupKomentar