Bank Plecit

Simbah kurang paham mana ejaan yang benar, apakah Bank Plecit atau Bang Plecit. Kalo di Jakarta sini orang menyebutnya Bank Keliling,
Bank Plecit, bank titil

Bank Plecit - Simbah kurang paham mana ejaan yang benar, apakah Bank Plecit atau Bang Plecit. Kalo di Jakarta sini orang menyebutnya Bank Keliling, tapi bisa juga maksudnya Bang Keliling, karena biasanya yang keliling itu laki-laki. Tampilannya pun biasa saja, bahkan keliatan culun, ndeso bahkan sebagian tampak kurang gizi. Namun aktifitas yang dilakukannya mbikin simbah miris.

Mereka adalah pelaku ekonomi riil di tengah masyarakat ekonomi lemah. Kerjanya memberikan pinjaman pada yang memerlukan. Tidak besar memang. Besarannya hanya ratusan rebu hingga jutaan, tapi tetap di bawah angka 5 juta.

Nggak tahu gimana asal muasalnya tiba-tiba simbah disambati seorang pengusaha bisnis remeh temeh yang terlilit utang di Bank Plecit alias Bank Keliling ini. Utangnya sebenarnya juga tak besar. Hanya 500 rebu ripis. Tapi itu nilai yang besar buat satu keluarga yang ekonominya lebih sering bumi gonjang-ganjingnya daripada langit kelap-kelapnya.

Setelah nggedabrus ngalor ngetan, akhirnya simbah menanyakan gimana tho sebenarnya kerja Bank Keliling itu. Kok bisa-bisanya banyak yang sambat dililit utang oleh Bank Keliling itu. Pengusaha itu akhirnya bercerita, bahwa bunga yang diterapkan oleh bank Plecit itu lumayan gede. Tagihannya pun harian. Jadi akhirnya kewalahan sendiri nyarutang (bayar hutang).

Mekanismenya gini, tarohlah si shohibul kajat ngutang dua juta ripis. Maka si Bank Plecit akan kasih dua juta ripis dipotong administrasi 10 persen, sehingga total duit yang diterima shohibul kajat cuma 1,8 juta ripis. Trus Bunga yang diterapkan adalah 20 persen perbulan. Sehingga dalam sebulan si shohibul kajat harus membayar tanggungan hutang sebesar 2,4 juta ripis. Jikalau dalam satu bulan bisa lunas, si bank Plecit akan memberikan uang penghargaan sebesar 100 rebu ripis buat shohibul kajat, karena berdedikasi tinggi mau mbayar utang tepat waktu.

Jadi buat Bank Plecit itu, dari uang 1,8 juta ripis bisa menangguk untung 500 rebu ripis. Jiaaaan... kapitalis sejati. Kapitalis edan wal gemblung. Menerapkan prinsip uang yang bekerja untuk diri kita. Bukan kita yang bekerja untuk uang. Tapi keblinger wal kesasar, milih dalan peteng... membungakan uang. Lha yang ngutang jadi semakin mbeseseg dadanya. Ngutang dua juta ripis ditagih setiap hari 80 rebu ripis. Ha wong hidupnya saja sudah kesrakat kok dituntut menyediakan duit 80 rebu ripis sehari. Apa nggak semakin semaput.

Si bank Plecit beralasan, ha wong minjem bolo pecah saja ada uang sewanya kok. Pinjem meja kursi, kamera, mobil, alat pesta dan lain sebagainya, semua pakai uang sewa. Mosok pinjem duit gak ada uang sewanya. Mereka menganggap hutang duit itu sama dengan nyewa. Maka harus bayar uang sewa. Lha, pantesan... makanya mereka pantas disebut :

RENTENIR


Karena kerjanya rental duit, yang mana RENT itu kan artinya sewa. Mereka nganggep menghutangkan uang itu ya menyewakan uang. Wah.. dasar koplo, otak kapitalis atheis.

Yang lebih mengherankan, ternyata pelaku lapangan itu hanya pegawe saja. Kerjanya menawarkan dan nagih. Sedangkan pemodal bank Plecit ini kebanyakan kumpulan para Haji sugeh plus tuan tanah, yang hobinya kawin, punya simpenan bini di mana-mana, tapi terpandang di mata masyarakat karena sugehnya. 

Makanya Kitabullah menganggap orang-orang yang terlibat dalam urusan rental merental duit ini sebagai orang yang gendheng dan kerasukan setan. Sehingga yang namanya riba itu dihapus oleh syareat sampai ke akar-akarnya. Gak ada itu riba walo kecil. Haram sampai ke akar-akarnya. Kalo nekat, Allah umumkan perang pada pelakunya.

Cuma yang namanya setan, tetap gak kehabisan jurus. Kata riba diasingkan dan dikucilkan. Dipoleslah kata-kata seram itu. Maka riba berevolusi menjadi produk-produk bergengsi. Saking bergengsinya menyebabkan yang makai jadi kecanduan. Bahkan menjadi tolok ukur kesuksesan seseorang. Seseorang belum dianggep perlente kalo belum punya kartu riba... eh... kartu kredit alias CC dari lima bank besar di dunia. Mbeli barang kurang nggaya kalo nggak dengan cara nggesek kertu.

Karena nyandu, maka banyak yang menolak bahwa itu sebenarnya riba. Ibarat lethong sapi dipoles krim sehingga nampak seperti kuwe tart. Lha trus ada yang kapusan. Kuwe tart lethong sapi itu diunthal sak kayange. Sebagian malah buat ndublag bayi-bayi yang masih innocent. Trus tiba-tiba ada yang ngelokne, “Kang lethong sapi kok diemplok. Lha opo hora pait..?”
Karena terlanjur nyandu dan belepotan lethong, njawab dengan membabi buta tanpa menceleng melek, “Lethong sapine mbahmu, iki kuwe tart lapis legit tahu...!! Ha mbok dirasakne... ha wong manis-manis nyamleng gini kok lethong sapi. Ha kalo ada pait-paitnya dikit wajarlah.. itu pariasi rasa.. Dasar ndesit..!!”

Pait-pait dikit wajar lah, Riba dikit gak papa lah. Bunganya kan kecil, gak mencekik kita. Ha kok situ yang malah kecekik.... bla..bla..bla. Itulah alasan pembenaran bagi pelakunya. Bahkan ada yang parah, sampai bilang... “Lha kalo gak pakai sistem riba ini, gimana bisa hidup di jaman moderen ini..??”

Simbah menangkapnya begini, “Lha kalo gak makan lethong sapi, gimana kita bisa menahan lapar kita, mau makan apa kita??” Tapi buat yang lainnya sih, kali aja beda. Ha wong kupingnya juga beda, hatinya beda, isi polonya juga beda.

Yang jelas bank Konvensional, apalagi bank Plecit... telah diharamkan oleh MUI, yang haram tentu saja ribanya. Yang lainnya tidak. Ibarat warung yang jualan macem-macem barang, yang haram adalah dagangannya yang haram saja macem ciu, arak, sate jamu (asu), kikil babi dlsb. Tapi itu MUI, fatwanya bukan hukum positip. Pelakunya berdosa menurut syareat tapi bukan kejahatan apalagi kriminal miturut negara. 

Sedangkan dokter yang nyembuhin pasien, pasiennya jadi bagas waras bahkan nyembah-nyembah maturnuwun sama dokternya karena sudah ditambani dan sembuh, dianggap kriminil kalo gak mengantongi SIP, pantas didenda 300 juta ripis. Eh... kok malah OOT. Yang jelas... mari tinggalkan riba!!
LihatTutupKomentar