Candu di Jawa pada Awal Abad 19, Opium

Candu produksi pemerintah kolonial Belanda ini diberi merk “opium regie”. Ukuran yang dipakai candu regie adalah mata, misalnya ½ mata, 1 mata, 5 mata
Candu di Jawa pada Awal Abad 19

Candu di Jawa pada Awal Abad 19 - Berikut ini adalah foto tempat penjualan candu (opium) dan beberapa aktivitas menikmati candu di Jawa. Khusus untuk bangunan (rumah) penjualan candu yang ditampilkan dalam foto ini memang terasa tidak menunjukkan ciri-ciri spesifik dari sebuah rumah (tempat) penjualan candu. 

Barangkali tempat penjualan candu memang tidak menyolok di zaman itu. Bangunannya lebih mirip rumah hunian biasa. Bahkan difoto itu bangunan rumah penjualan candu itu terbuat dari bambu (gedhek).

Papan nama (yang mungkin menunjukkan tentang rumah penjualan candu) tidak begitu menyolok. Dinding gedhek di depan bangunan yang tampak dalam foto itu pun kelihatan telah bolong-bolong di beberapa sisi. Dinding gedhek di depan bangunan itu mungkin menjadi semacam kelir atau tabir agar orang yang pergi untuk membeli candi di rumah atau warung candu itu tidak begitu kelihatan oleh orang lain (semacam menjaga nama baik).

Untuk menjalankan praktek monopoli penjualan candu Belanda (VOC) menerapkan sistem yang disebut Amfioen Societeit. Sistem ini kemudian digantikan lagi dengan sistem Amfioen Directie kemudian berubah sistem lagi menjadi Opiumpacht. Opiumpacht diganti lagi menjadi sistem Opiumregie.

Pabrik opium pertama kali beroperasi di Kramat, Batavia pada tahun 1893. Candu produksi pemerintah kolonial Belanda ini diberi merk “opium regie”. Ukuran yang dipakai candu regie adalah mata, misalnya ½ mata, 1 mata, 5 mata, 12 ½ mata dan 25 mata serta masing-masing diberi kode A, B, C, D, E, dan F. 

Selain itu pemerintah kolonial juga menjual jenis candu lain yang disebut jicing dan jicingko. Jicing adalah residu pembakaran candu yang dimasak dengan campuran daun awar-awar yang dikeringkan lebih dulu. Nama lain dari jicing ini dikenal dengan nama tike. Sedangkan jicingko atau klelet adalah residu dari jicing yang dimasak dengan air.

Candu di Jawa pada Awal Abad 19

Tempat penjualan candu umumnya dipegang oleh Mantri Candu yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial. Tempat penjualan candu biasanya didirikan di lokasi yang dianggap strategis dan mudah dijangkau seperti dekat pasar, dekat perkebunan, dan dekat pelabuhan. Umumnya tempat itu akan dilengkapi dengan tulisan yang berbunyi “Kantor Penjualan” dalam bahasa Belanda, Indonesia, dan daerah setempat.

Penjualan candu umumnya dilaksanakan mulai pukul 12 siang sampai 10 malam. Sementara pada hari-hari Minggu atau hari besar lain tempat penjualan ini ditutup. Pemerintah kolonial juga menunjuk tempat memakai/menikmati candu yang di Jawa dikenal dengan nama bambon peteng. 

Tempat ini memang tertutup rapat dan gelap (peteng). Hanya ada satu pintu masuk pada bambon peteng. Kecuali itu, tidak setiap orang boleh masuk, kecuali pemilik, konsumen candu, dan orang-orang yang telah mengantongi izin tertulis dari pemerintah setempat. 

Di dalam bambon peteng (warung candu) juga disediakan alat penghisapnya (semacam bong), pelita, tempat tidur, dan daun awar-awar. Alat dan benda tersebut disewakan. Penghisap candu juga dilarang berjudi atau jenis permainan lainnya. Pelanggaran terhadapnya dapat dikenai sanksi denda 100 gulden atau izinnya dicabut.

LihatTutupKomentar